
Foto Pusat Informasi Palestina
Dengan blokade yang mencekik dan penutupan gerbang perbatasan di Jalur Gaza yang masih terus berlangsung selama tiga bulan berturut-turut, menjerumuskan Jalur Gaza ke dalam kelaparan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan mengakibatkan kematian puluhan orang. Presiden AS Donald Trump mengeluarkan pernyataan Kamis malam (8/5/2025) mengumumkan bahwa masalah blokade bantuan kemanusiaan terhadap penduduk Jalur Gaza hampir berakhir, sebagai bagian dari rencana komprehensif AS.
Mengutip Pusat Informasi Palestina pada 10 Mei 2025, 10:30 bahwa janji Presiden AS untuk memberikan bantuan kepada penduduk Jalur Gaza disambut dengan skeptisisme tentang tujuan sebenarnya di balik langkah ini. Dikarenakan Trump selama ini telah—dan terus menjadi—pendukung utama tindakan genosida rezim penjajah Israel sejak menjabat di Gedung Putih. Ini terjadi setelah ia mengancam akan membuka gerbang neraka bagi rakyat Palestina jika perlawanan tidak membebaskan tahanan Israel. Hal ini bertentangan dengan simpati yang baru-baru ini ia ungkapkan untuk rakyat Jalur Gaza yang terkepung.
Sementara lebih dari dua juta warga Palestina di Jalur Gaza menunggu terobosan apapun—walau hanya sebagian—yang bisa meringankan beban blokade dengan judul apapun. Para pengamat menegaskan bahwa langkah ini tidak mencerminkan kemajuan dalam masalah ini, melainkan lebih merupakan pengelolaan blokade ala Amerika, sebagai bagian dari tindakan keras terhadap warga Palestina yang bertujuan memaksa mereka keluar dari Jalur Gaza.
Dokumen Witkoff
Surat kabar Israel Yedioth Ahronoth melaporkan Kamis lalu bahwa mereka telah memperoleh dokumen setebal 14 halaman yang disampaikan oleh Steve Witkoff pada hari Rabu selama sesi tertutup Dewan Keamanan, yang mencakup inisiatif baru yang besar untuk Jalur Gaza yang disebut “Dana Kemanusiaan Gaza.” Witkoff diserang tajam oleh para duta besar selama sesi tersebut, menyusul tuduhan internasional bahwa Israel lah yang menyebabkan kelaparan penduduk Gaza.
Surat kabar tersebut menjelaskan bahwa “dana bantuan tersebut mencakup pendirian empat titik distribusi di seluruh Jalur Gaza, yang masing-masing akan melayani hingga 300.000 orang pada tahap pertama, dengan rencana untuk diperluas kemudian untuk melayani hingga dua juta orang.”
Surat kabar tersebut melanjutkan: “Dokumen tersebut menyatakan bahwa distribusi akan dilakukan melalui saluran yang aman, tanpa kehadiran militer Israel, dan di bawah pengawasan langsung tim keamanan dan keselamatan yang independen. Bahan-bahan—paket makanan, perlengkapan kebersihan, obat-obatan, dan air—akan didistribusikan semata-mata sesuai kebutuhan dan tanpa diskriminasi.”
Surat kabar itu menyatakan: “Rencana sedang disusun untuk menyediakan paket-paket makanan bagi keluarga Palestina dengan biaya $65 perpaket, yang akan berisi 50 makanan keluarga lengkap. Setiap orang akan menerima makanan yang mengandung 1.750 kalori seharga $1,31.”
“Akal-akalan Baru”
Duta Besar AS untuk Israel Mike Huckabee menyatakan bahwa Presiden AS Donald Trump “ingin makanan didistribusikan di Gaza dengan aman dan efisien,” mengumumkan apa yang disebutnya “mekanisme baru untuk mendistribusikan bantuan kemanusiaan yang tidak bergantung pada tindakan militer.”
Dalam pernyataan pada hari Jumat, duta besar AS mengatakan, “Ada kebutuhan mendesak untuk bantuan kemanusiaan di Gaza, dan Hamas tidak dapat atau tidak mau menyediakannya.” Ia mencatat bahwa beberapa mitra telah menyetujui mekanisme untuk mendistribusikan bantuan ke Gaza.
Ia menjelaskan bahwa perusahaan keamanan swasta akan bertanggung jawab untuk memastikan keselamatan pekerja dan distribusi makanan, menekankan bahwa Israel tidak akan menjadi pihak dalam distribusi bantuan di Gaza dan bahwa keikutsertaan Israel akan terkait dengan keamanan.
Duta besar tidak menyebutkan nama mitra yang akan berpartisipasi dalam distribusi bantuan di Gaza, mengisyaratkan bahwa “rincian lebih lanjut akan diungkap dalam beberapa hari mendatang dan bahwa akan ada partisipasi dari organisasi nirlaba.”
Ia melanjutkan, “Beberapa mitra telah menjanjikan pendanaan tetapi belum ingin mengungkapkan identitas mereka,” mencatat bahwa prosesnya akan segera dimulai.
Pelanggaran dan Risiko
Sementara itu, peneliti politik dan jurnalis Wissam Afifa menegaskan bahwa rencana AS-Israel yang bertajuk “Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF): Bantuan yang Aman dan Transparan untuk Gaza” menghadirkan model baru untuk penyaluran bantuan, tetapi rencana tersebut mengandung sejumlah risiko hukum dan kemanusiaan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum humaniter internasional, meskipun diklaim mematuhinya.
Afifa menjelaskan dalam sebuah posting di akun X miliknya bahwa rencana tersebut memiliki fitur dan risiko kemanusiaan, serta ada kemungkinan pelanggaran hukum, sebagai berikut:
Pertama: Fitur paling menonjol dari rencana tersebut
1. Penyaluran bantuan melalui empat titik lokasi aman (SDS) di Jalur Gaza selatan, melayani 1,2 juta warga Palestina pada tahap pertama, dengan maksud akan diperluas hingga lebih dari 2 juta.
2. Rencana tersebut dikelola oleh tim Amerika/Barat yang mencakup mantan pejabat militer AS, USAID, dan badan keamanan, seperti Letnan Mark Schwartz, yang mencerminkan sifat dominan militer dari rencana tersebut.
3- Kemitraan dengan bank dan perusahaan besar seperti JP Morgan dan Truist, dan meminta pengawasan hukum dari lembaga-lembaga besar Barat untuk memastikan “transparansi.”
4- Mengecualikan lembaga-lembaga Palestina lokal dan internasional, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, dari proses distribusi dan implementasi, dan hanya mengandalkan mitra eksternal.
Kedua: Risiko Kemanusiaan
1- Melucuti kedaulatan dan kewenangan warga Palestina: Warga Palestina tidak berpartisipasi dalam pengelolaan atau perencanaan bantuan, sehingga membentuk suatu pola “bantuan tanpa martabat.”
2- Melemahkan masyarakat sipil lokal dan lembaga internasional, mencegah mereka memainkan peran kemanusiaan dan perwakilan mereka, memperdalam ketergantungan pada aktor internasional di luar konteks nasional atau PBB.
3- Diskriminasi dalam tersampaikannya bantuan: Meskipun mengklaim netralitas, koordinasi dengan tentara pendudukan Israel (COGAT) menjadikan proses distribusi tunduk pada pembatasan keamanan dan politik yang dapat mencegah daerah atau kelompok tertentu mendapatkan manfaat.
Ketiga: Potensi Pelanggaran Hukum
1- Pelanggaran prinsip netralitas dan independensi: Koordinasi dengan tentara penjajah Israel dan penerapan rute tertentu melalui pelabuhan seperti Ashdod dan Kerem Shalom menjadikan bantuan sebagai alat yang ada di tangan penjajah, sehingga menghilangkan karakter kemanusiaannya yang netral.
2- Melanggar asas “kebutuhan sebagai dasar penyaluran”: Rencana tersebut mengandalkan “pemantauan keamanan” dan pengendalian lokasi penyaluran, yang dapat mengecualikan mereka yang paling membutuhkan bantuan jika mereka tidak memenuhi syarat “keselamatan”.
3- Melegalkan blokade alih-alih mencabutnya: Memberikan bantuan melalui mekanisme bersyarat dan di bawah pengawasan penjajah merupakan normalisasi blokade, bukan malah mencabut atau mengutuknya. Hal ini melanggar hukum internasional, yang mewajibkan kekuatan penjajah untuk memenuhi kebutuhan penduduk tanpa syarat.
Afifa merangkum penjelasannya tentang rencana Amerika tersebut dengan mengatakan: “Terlepas dari tujuan bantuan yang dinyatakan dalam rencana tersebut, struktur pelaksanaannya, pengecualiannya terhadap warga Palestina, dan ketergantungannya sepenuhnya pada pihak-pihak campuran yang dikoordinasikan dengan penjajah, pada dasarnya itu merupakan pembungkusan ulang blokade dengan kedok kemanusiaan. Ini adalah rencana yang mengancam untuk merampas hak warga masyarakat untuk menentukan nasib sendiri dan mengubah makanan menjadi alat penghinaan politik dan keamanan, yang jelas bertentangan dengan semangat dan teks hukum humaniter internasional.”
“Manuver untuk Membungkus Blokade”
Rami Abdo, kepala Euro-Mediterranean Human Rights Monitor, mengatakan bahwa rencana AS-Israel untuk mempercayakan penyaluran bantuan terbatas di Gaza kepada perusahaan-perusahaan internasional bukanlah proyek kemanusiaan, melainkan manuver yang diperhitungkan untuk kembali membungkus blokade, menjatah kelaparan, dan mengubah makanan menjadi alat pemaksaan yang membuka jalan bagi pengusiran warga masyarakat dari tanah air mereka.
Abdo menjelaskan dalam sebuah komentar di akun X miliknya pada hari Kamis bahwa rencana tersebut dikelola oleh mantan personel militer AS dan organisasi-organisasi bantuan yang tunduk pada pengawasan ketat, dan dilaksanakan melalui pusat-pusat distribusi pada waktu-waktu tertentu, tanpa peran apa pun bagi pihak Palestina sendiri. Ia menggambarkannya sebagai “pelanggaran mencolok terhadap tugas untuk memberikan bantuan dengan segera, efektif, dan tanpa hambatan, sebagaimana ditetapkan oleh hukum internasional.”
Ia melanjutkan, “Tujuannya bukanlah untuk memberikan bantuan, tetapi untuk memaksakan kendali, memberi waktu bagi Israel, memperluas cengkeraman militernya di tanah tersebut, dan memaksa warga masyarakat untuk melarikan diri dengan membuat mereka kelelahan dan kelaparan, mengubah mereka menjadi jiwa-jiwa yang kelelahan dan perut-perut lapar yang menunggu makanan perpekan.”
Abdo menyerukan izin yang mendesak dan efektif untuk membawa masuk kebutuhan pokok dan perlengkapan bertahan hidup, untuk memastikan kehidupan yang bermartabat bagi warga masyarakat, memungkinkan mereka untuk membangun masa depan di tanah mereka. Sepanjang sejarah, mereka telah menunjukkan keunggulan dan kemampuan mereka untuk menciptakan kehidupan dan melayani seluruh umat manusia.
Ia menyimpulkan dengan mengatakan, “Orang-orang Palestina bukanlah objek belas kasihan. Mereka tidak menginginkan amal yang memalukan; sebaliknya, mereka menuntut hak penuh mereka untuk hidup, kebebasan, martabat, dan untuk tetap tinggal di tanah mereka.”
Militerisasi Bantuan
Sementara itu, Dr. Basem Naim, mantan Menteri Kesehatan dan anggota Biro Politik Gerakan Perlawanan Islam (Hamas), mengatakan bahwa rencana AS yang diusulkan untuk mendistribusikan bantuan ke Gaza “tidak jauh dari visi Israel untuk memiliterisasi bantuan.”
Naim menambahkan dalam pernyataan pers pada hari Jumat bahwa pemerintah AS tertarik pada langkah apa pun untuk meningkatkan citranya di kawasan tersebut sebelum kunjungan Trump ke wilayah tersebut, memperingatkan partai-partai lokal “agar tidak menjadi alat dalam skenario penjajah.”
Pemimpin Hamas mengatakan, “Hak rakyat kami atas makanan, minuman, dan obat-obatan tidak dapat dinegosiasikan.”
Ia melanjutkan, “Israel harus memenuhi kewajibannya sebagai kekuatan yang menjajah, bahkan jika ia bertindak sebagai entitas jahat.” Ia menekankan bahwa upaya penjajah dan para pendukungnya untuk mematahkan keinginan rakyat kami melalui kelaparan dan perampasan obat-obatan telah gagal total.
Kelaparan telah menyebar di Jalur Gaza dalam bentuknya yang paling mengerikan, 69 hari setelah penjajah menutup penyeberangan Gaza dan mencegah masuknya bantuan dan barang-barang (Palinfo/Kho)
Sumber: