
Foto Al-Quds Al-Araby
Meskipun berbagai kritik internasional berturut-turut menentang genosida negara Zionis di Gaza, yang sudah berlangsung sejak hampir 600 hari dan digambarkan oleh beberapa kalangan sebagai “Tsunami Politik,” operasi tersebut terus berlanjut.
Penjajah terus meningkatkan kampanye militer terbaru yang diberi nama “Kereta Gideon”, menyusul kegagalan kampanye militer sebelumnya untuk menaklukkan Hamas dan membebaskan para tawanan.
Sebuah laporan oleh Madar, Pusat Palestina untuk Urusan negara Zionis meneliti operasi militer negara Zionis ini dapat menjadi salah satu operasi militer negara Zionis yang paling kontroversial dan berbahaya terhadap Jalur Gaza.
Perlu dicatat bahwa operasi ini bukan sekadar operasi tempur militer, tetapi jika benar-benar dilaksanakan, ini merupakan perubahan kualitatif dalam strategi negara Zionis, dengan menggabungkan manuver darat, pembersihan spasial warga masyarakat, dan penggunaan narasi keagamaan dan sejarah yang memberikan dimensi simbolis yang mendukung kebangkitan kaum kanan negara Zionis di tengah menurunnya antusiasme masyarakat negara Zionis untuk melanjutkan perang.
Operasi dan Tujuannya
Laporan Madar menyatakan bahwa Operasi Gideon bukan sekadar usulan, melainkan rencana militer yang beroperasi penuh, yang dikembangkan oleh Kepala Staf Eyal Zamir dan disetujui oleh kabinet keamanan pada tanggal 4 Mei 2025. Rencana ini menunggu “jam nol,” meskipun pasukan penjajah telah mempersiapkannya selama berhari-hari.
Perlu dicatat bahwa operasi ini dilakukan setelah runtuhnya perjanjian gencatan senjata yang dimulai pada bulan Januari. Pertempuran kembali terjadi pada bulan Maret 2025, setelah berakhirnya pertukaran tahanan dan Perdana Menteri Netanyahu menghalangi upaya untuk menyempurnakan kesepakatan tersebut.
Menurut Madar, operasi tersebut bertujuan untuk memberlakukan kontrol militer di lapangan, yang memungkinkan pasukan penjajah untuk mengatur pergerakan warga sipil dengan membangun zona penyangga (mirip dengan ghetto) tempat warga sipil Palestina terkonsentrasi, yang memungkinkan tentara bebas melakukan tindakan militer di seluruh Jalur Gaza.
Operasi tersebut juga bertujuan untuk:
1) Menghabisi kekuasaan Hamas dengan menghancurkan infrastrukturnya dan melucuti senjatanya.
2) Memulihkan sandera negara Zionis, meskipun tujuan ini dianggap sebagai prioritas rendah menurut kebocoran media, yang telah memicu kritik terhadap prioritas pimpinan.
3) Menggambar ulang peta keamanan dan demografi Jalur Gaza untuk melayani kepentingan strategis negara Zionis.
Menurut laporan tersebut, rencana itu memerlukan peningkatan kehadiran militer yang luas di dalam Gaza, penggunaan peralatan berat untuk menghancurkan terowongan dan lokasi militer, dan koordinasi militer tripartit antara pasukan darat, udara, dan laut.
Rencananya juga mencakup pengusiran warga Jalur Gaza utara secara terorganisasi ke selatan, khususnya keluar setelah Poros Morag, tempat negara Zionis berencana untuk membangun “zona kemanusiaan” awal dengan kapasitas 100.000 orang sebagai tahap pertama, yang akan diperluas secara bertahap.
Mesin Propaganda dalam Bahasa Arab
Alat propaganda berbahasa Arab, yang dipimpin oleh juru bicara militer Avichay Adraee, akan digunakan untuk mendorong warga agar “mengungsi secara sukarela.”
Bantuan kemanusiaan yang dijanjikan akan sepenuhnya berada di bawah kendali negara Zionis, dikoordinasikan dengan beberapa perusahaan Amerika dan organisasi internasional, serta tunduk pada ketentuan keamanan yang ketat.
Hanya satu perwakilan dari setiap keluarga yang akan diizinkan menerima sekeranjang makanan pekanan (70 kg) setelah melewati pemeriksaan keamanan, menjadikan bantuan tersebut sebagai alat tambahan untuk membentuk kembali distribusi populasi di Jalur Gaza.
Konotasi Nama Kereta Gideon dan Mitos Perang
Nama operasi, “Kereta Perang Gideon,” mengandung konotasi religius dan kolonial dalam satu waktu. Gideon adalah pemimpin Alkitabiah dari suku Menashe, yang kisahnya diceritakan dalam Kitab Hakim-Hakim. Ia memimpin 300 pejuang untuk mengalahkan pasukan Midian yang besar melalui perintah Ilahi dan perencanaan militer yang cerdas.
Negara Zionis sebelumnya menggunakan simbolisme ini selama Nakba 1948, ketika meluncurkan “Operasi Gideon” untuk merebut wilayah Beit She’an dan mengusir penduduk Palestina. Dengan demikian, mitos-mitos Alkitab berulang kali digunakan untuk membingkai proyek-proyek pengusiran dan pemukiman dalam narasi kolonial yang sakral.
Narasi sejarah menceritakan tentang Gideon yang bermula dengan 32.000 pejuang, tetapi Tuhan memerintahkannya untuk mengurangi jumlahnya: Pertama, para pengecut diizinkan mundur, sehingga tersisa 22.000 orang. Kemudian, diadakan ujian minum dari sungai, dan mereka yang minum sambil berdiri dan waspada dipilih—hanya 300 orang. Orang-orang ini bertempur dengan iman dan kewaspadaan dan menang.
Madar menjelaskan bahwa narasi sejarah ini menyerupai kondisi negara Zionis pasca 7 Oktober: mobilisasi nasional yang komprehensif yang dimulai dengan slogan “Bersama kita menang” dan kemudian secara bertahap mengalami kemunduran bersamaan dengan waktu perang yang terus memanjang dan juga kerugian. Ini membuat masyarakat terbagi antara mereka yang ingin mengakhiri perang dengan imbalan pengembalian para tahanan, dan mereka yang bersikeras melanjutkannya hingga “kemenangan.”
Dalam konteks ini, para pendukung perang yang tersisa muncul sebagai “tentara Gideon”: minoritas yang kohesif dan setia yang melihat diri mereka dalam misi suci meskipun mereka terisolasi.
Narasi ini menyatu dengan imajinasi Barat tentang “peradaban versus barbarisme,” sebagaimana dicontohkan dalam film Hollywood “300” (diproduksi tahun 2007), yang menggambarkan sekelompok kecil orang Sparta yang terorganisasi melawan gerombolan “barbar” Iran-Persia.
Tentara negara Zionis juga digambarkan sebagai kekuatan yang membawa “cahaya” melawan “kekuatan kegelapan,” sebuah adegan yang menyembunyikan kekerasan nyata terhadap warga sipil, pengusiran massal, dan pembubaran warga Palestina.
Madar menyimpulkan bahwa, secara keseluruhan, “Kereta Perang Gideon” bukan sekadar operasi militer, tetapi proyek kolonial politik-keamanan-simbolis untuk membentuk kembali kendali negara Zionis atas Gaza, menggunakan perangkat keagamaan dan mitologis untuk memberinya perlindungan simbolis.
Bahayanya tidak hanya terletak pada dampaknya bagi warga sipil, tetapi juga dalam reproduksi konsep “legitimasi” dan “kendali” melalui kombinasi mitos dan superioritas militer, yang menimbulkan tantangan terang-terangan terhadap hukum internasional dan prinsip-prinsip keadilan manusia.