
Foto Quds Press
Dalam situasi yang mencerminkan kebingungan para pemimpin politik di wilayah penjajah negara Zionis dalam menghadapi tantangan dalam dan luar negeri yang meningkat, krisis “migrasi terbalik” muncul sebagai salah satu manifestasi dari kerentanan strategis pemerintahan Netanyahu.
Mengutip laporan Saifuddin Bakir Quds Press pada 16 Juni 2025 22:02, bahwa sementara Tel Aviv berupaya memasarkan “evakuasi warga negara Zionis” dari luar negeri sebagai upaya kemanusiaan untuk melindungi warganya, dimensi yang lebih dalam terungkap terkait dengan gelombang pengungsian massal dan penolakan masyarakat yang semakin meningkat untuk tetap tinggal di tanah yang dikepung oleh ketegangan keamanan dan disintegrasi dalam negeri.
Dalam konteks ini, para peneliti dan pengamat telah memperingatkan bahwa apa yang disajikan kepada publik internasional sebagai “tindakan pencegahan” sebenarnya menyembunyikan kecenderungan yang semakin meningkat diantara sebagian warga negara Zionis untuk pergi secara sukarela, didorong oleh rasa takut dan hilangnya kepercayaan.
Dalam komentar yang disampaikan secara serentak, akademisi dan pakar urusan Zionis menilai perkembangan ini sebagai aib besar bagi pemerintahan Netanyahu, yang berupaya menutupi krisis dalam negeri yang mengancam “narasi kepulangan” itu sendiri, sembari terus berupaya mengekspor krisis tersebut melalui eskalasi militer dengan Iran.
Pemolesan Netanyahu
Akademisi dan peneliti dalam urusan Zionis, Khaled Saeed, mengatakan, “Perdana Menteri negara Zionis Benjamin Netanyahu tidak ingin mengizinkan kaum Zionis yang ingin beremigrasi secara sukarela ke luar wilayah Palestina yang dijajah, tetapi justru ingin menerima bantuan militer Amerika dan Eropa, sebagaimana diungkapkan oleh Otoritas Penyiaran negara Zionis dalam lebih dari satu laporan pada Ahad malam.
Saeed mengkonfirmasi kepada Quds Press bahwa “banyak media berbahasa Ibrani telah mengabaikan untuk membahas warga negara Zionis yang masih berada di luar wilayah yang dijajah, tetapi sebaliknya lebih fokus pada upaya untuk memperbaiki citra pemerintahan Netanyahu, yang berupaya menghancurkan Iran dan menggagalkan perlawanan signifikan terhadap tentara Iran.”
Ia menunjukkan bahwa “sejumlah besar warga Zionis memiliki paspor kedua, selain paspor negara Zionis, yang dapat mereka gunakan dengan mudah untuk bepergian ke luar negeri. Namun, Netanyahu tidak ingin mengekspos dirinya sendiri atau pemerintahannya saat ini, dengan mengklaim bahwa sebagian besar pemukim ingin meninggalkan ‘Tanah Perjanjian,’ sebagaimana yang mereka klaim.”
Ironi Sejarah
Sementara itu, Abdulaziz Al-Anjari, kepala Pusat Pengintaian (organisasi penelitian independen yang berpusat di Kuwait) dan anggota Klub Pers Nasional di Washington, mengatakan, “Apa yang dipasarkan sebagai ‘evakuasi’ hanyalah kedok untuk menutupi eksodus massal dan menghindarkan pemerintah negara Zionis dari rasa malu di hadapan dunia, karena hal itu menunjukkan orang-orang melarikan diri dari tanah mereka pada saat mereka seharusnya mempertahankannya.”
Al-Anjari menambahkan dalam sebuah tweet di akun X-nya: “Ironisnya adalah bahwa sebagian besar dari mereka yang terdampar di luar negeri tidak menunjukkan keinginan yang nyata untuk kembali, sementara di dalam negeri, ribuan keluarga negara Zionis memadati bandara Ben Gurion dan Ramon, berusaha untuk beremigrasi ke tujuan-tujuan seperti Siprus, Portugal, Uni Emirat Arab, dan lainnya.”
Ia melanjutkan, “Bandingkan ini dengan apa yang terjadi di Gaza: tidak ada bandara, tidak ada paspor asing, tidak ada konsulat yang mengkoordinasikan pintu keluar. Hanya pengepungan dan kematian akibat pemboman. Meskipun demikian, warga Gaza belum meninggalkan tanah mereka.”
Al-Anjari menyimpulkan dengan mengatakan, “Disinilah letak paradoks sejarah: mereka yang seharusnya telah kembali ke ‘Tanah yang dijanjikan melarikan diri darinya, sementara mereka yang digambarkan sebagai ‘pengembara di tanah’ terbukti sebagai pemilik sebenarnya.”
Pada hari Ahad, Perdana Menteri negara Zionis Benjamin Netanyahu mengeluarkan arahan yang melarang warga negara Zionis bepergian ke luar negeri, menjustifikasi hal ini dengan kebutuhan untuk mengalokasikan pesawat guna mengevakuasi lebih dari 100.000 warga negara Zionis yang terlantar di luar negeri, menurut surat kabar berbahasa Ibrani Yedioth Ahronoth.