
Tanda penting logo G7 2025 terlihat selama KTT G7 di Pomeroy Kananaskis Mountain Lodge di Kananaskis, Alberta, Kanada pada 17 Juni 2025. [Pemerintah Kanada - Anadolu Agency], foto diambil dari situs MEMO
Oleh Ketika Presiden Indonesia Prabowo Subianto memilih untuk tidak menghadiri KTT G7 tahun ini, sebagian orang mungkin menafsirkannya sebagai peralihan dari pengaruh Barat—atau bahkan sebagai tanda Jakarta semakin dekat dengan Moskow, demikian tulis Dr. Muhammad Zulfikar Rakhmat dan Yeta Purnama di situs MEMO pada 21 Juni 2025 pukul 12:52.
Kedua penulis tersebut sebelumnya berpendapat bahwa penataan ulang seperti itu mungkin tidak menguntungkan kepentingan ekonomi Indonesia, khususnya dalam hal mengurangi ketergantungan jangka panjang negara itu pada Tiongkok.
Namun, ketidakhadiran Prabowo di G7 membawa lapisan makna lain, khususnya terkait masalah Palestina dan negara Zionis. Dan meskipun ia mungkin tidak mengatakannya secara terbuka, kebungkaman itu bermakna. Entah karena disengaja atau karena pengekangan diplomatik, menjauhi pertemuan puncak yang semakin membingkai konflik negara Zionis-Palestina melalui sudut pandang selektif adalah, untuk pertama kalinya, langkah yang tepat bagi kebijakan luar negeri Indonesia — terutama bagi seorang pemimpin yang sering dituduh pragmatis atas prinsip.
Bukan rahasia lagi bahwa posisi G7 terhadap negara Zionis, dan Palestina, mencerminkan standar ganda yang lazim dalam diplomasi Barat. Sambil mengutuk Iran atas perilaku regional dan ambisi nuklirnya, para pemimpin G7 secara konsisten menegaskan kembali “hak negara Zionis untuk membela diri” tanpa secara memadai membahas hak-hak warga Palestina, atau kekerasan yang tidak proporsional yang ditimpakan kepada warga sipil di bawah penjajahan dan pengepungan. Komunike dari pertemuan puncak tahun ini di Kanada sekali lagi menggemakan rumus itu: kepedulian terhadap warga sipil, tetapi komitmen yang teguh terhadap keamanan negara Zionis, dengan Iran digambarkan sebagai satu-satunya penjahat regional.
Bagi orang Indonesia, terutama mereka yang telah lama mendukung perjuangan Palestina untuk martabat dan kenegaraan, sikap diplomatik dari G7 ini dapat diprediksi sekaligus membuat marah. Konstitusi Indonesia mengamanatkan negara untuk menentang kolonialisme dalam segala bentuk, dan selama beberapa dekade, Palestina tetap menjadi simbol prinsip itu dalam kebijakan luar negeri Indonesia, yang melampaui garis partai dan ideologi politik.
Namun di sinilah letak ketidaknyamanannya: Prabowo sendiri tidak secara terbuka mengatakan bahwa ketidakhadirannya di G7 dimaksudkan sebagai teguran atas sikap pro-negara Zionisnya. Bahkan, narasi publiknya untuk bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin difokuskan pada penguatan hubungan ekonomi, kesepakatan senjata, dan lindung nilai masa depan Indonesia di tengah tatanan dunia yang semakin multipolar. Oleh karena itu, para kritikus mungkin melihat ini sebagai contoh lain dari oportunisme diam-diam, menghindari kontroversi di dalam negeri sambil tetap membuka pintu bagi kemitraan dengan Timur dan Barat.
Namun, apa yang tidak akan dikatakan Prabowo secara langsung, Menteri Luar Negerinya Sugiono telah menjelaskannya dengan jelas. Menanggapi komunike G7, Sugiono mengkritik tajam kemarahan selektif negara-negara Barat. Ia menunjuk pada posisi G7 yang memperburuk daripada meredakan ketegangan di Timur Tengah. Secara khusus, ia mengutuk serangan udara negara Zionis di wilayah Iran, yang menewaskan para ilmuwan Iran dan memicu serangan rudal balasan Iran terhadap Tel Aviv.
Yang lebih penting, Sugiono menggarisbawahi sesuatu yang sering diabaikan oleh Barat: bahwa warga sipil di semua pihak, termasuk mereka yang berada di bawah bom negara Zionis, memiliki hak dasar yang sama untuk hidup dan membela diri. Kritiknya tidak hanya berprinsip tetapi juga berakar pada identitas diplomatik Indonesia yang telah lama dianut: identitas yang mempromosikan perdamaian tetapi menolak untuk menoleransi narasi sepihak yang memaafkan penjajahan, apartheid, dan kejahatan perang yang sedang berlangsung.
Jika ketidakhadiran Prabowo memperkuat pesan itu dengan tidak menyampaikannya, itu lebih baik. Keheningan juga bisa menjadi bentuk diplomasi. Dengan tidak berdiri bahu-membahu dengan para pemimpin G7 saat mereka membingkai konflik Timur Tengah lainnya melalui lensa korban negara Zionis, Indonesia menjaga jarak yang kritis. Dan dengan melakukan itu, Prabowo selaras — sengaja atau tidak — dengan suasana hati banyak orang Indonesia, Muslim atau bukan, yang memandang bencana Gaza bukan hanya sebagai krisis kemanusiaan, tetapi juga sebagai krisis kolonial.
Sebagian orang akan berpendapat bahwa Indonesia harus lebih langsung. Dan mereka mungkin benar. Bagaimanapun, posisi Indonesia terhadap Palestina telah lama konsisten di forum internasional, dari Gerakan Non-Blok hingga Perserikatan Bangsa-Bangsa. Secara eksplisit menyatakan bahwa ketidakhadirannya didorong oleh ketidakpuasan dengan posisi G7 terhadap negara Zionis akan mengirimkan sinyal kepemimpinan moral yang tidak ambigu di Global Selatan, pada saat terlalu banyak negara mayoritas Muslim memprioritaskan realpolitik daripada solidaritas.
Namun, diplomasi jarang bersih atau memuaskan. Prabowo, seorang pemimpin yang lebih dikenal karena pragmatismenya daripada kebijakan luar negerinya yang visioner, memilih ambiguitas. Namun, ambiguitas itu ada gunanya. Ambiguitas memungkinkan Indonesia untuk terlibat dengan Rusia, mengurangi ekspektasi Barat, dan berdiri — betapapun halusnya — terpisah dari kerangka moral yang tidak seimbang yang diproyeksikan oleh G7.
Kebijakan luar negeri Prabowo mungkin masih akan mengungkap kontradiksi dan kompromi di tahun-tahun mendatang. Namun, pada momen khusus ini, berdiri terpisah dari pertemuan puncak yang mengulang-ulang pembenaran yang sudah basi atas kekerasan negara Zionis — sambil membiarkan menteri luar negerinya menyuarakan kemarahan Indonesia — merupakan langkah yang patut diapresiasi.