
Foto Pusat Informasi Palestina
Gaza – Keadaan frustrasi mencengkeram Ahmad Ayub, seorang siswa yang seharusnya menyelesaikan sekolah menengah tahun ini. Namun, perang genosida yang sedang berlangsung menghalangi mimpinya untuk kuliah di universitas untuk mempelajari farmasi klinis.
Mengutip situs Al Jazeera Net pada Sabtu 21 Juni 2025 jam 22:50, Ahmad mencoba menangkap sinyal internet untuk memeriksa berita hari pertama Ujian Pendidikan Menengah Umum Palestina. Dia terus menelusuri banyak foto dan video siswa dengan seragam sekolah mereka, mendengarkan pendapat mereka tentang lembar pertama ujian bahasa Arab.
Ahmad, seorang siswa sains dari desa Zeitoun di sebelah timur Kota Gaza, berkata, “Saya memastikan untuk menghadiri kelas digital yang disediakan setiap kali saya dapat mengakses layanan internet, dan itu cerita lain. Saya juga mendaftar di beberapa pusat pendidikan darurat di Gaza, tetapi ayah saya mencegah saya melakukannya karena jalan yang berbahaya.”
Pemuda itu, yang tubuhnya tampak kurus kering akibat perang kelaparan yang menyertai genosida negara Zionis, menambahkan: “Kami tidak mendengar bel sekolah berbunyi selama 21 bulan. Yang kami dengar hanyalah desiran peluru dari kendaraan militer, ledakan peluru artileri, suara rudal yang ditembakkan oleh pesawat tempur, dan jeritan anak-anak dan wanita.”
Untuk tahun kedua berturut-turut, ribuan siswa sekolah menengah di Jalur Gaza tidak dapat mengikuti ujian akhir karena perang genosida yang dimulai pada 7 Oktober 2023. Perang ini telah menghancurkan sebagian besar sekolah dan menyebabkan ribuan siswa dan guru gugur syahid.
Ujian sekolah menengah dimulai Sabtu pagi ini di sekolah-sekolah di seluruh Tepi Barat, termasuk Al-Quds Timur, sementara lorong-lorong di Jalur Gaza kosong dari siswa setelah perang membuat sebagian besar dari sekolah menjadi puing-puing dan sisanya menjadi tempat perlindungan bagi para pengungsi.
“Saya kehilangan segalanya.”
Sedangkan Rawan Al-Shurafa, yang dulunya berprestasi dalam pelajaran dan digambarkan oleh guru-gurunya sebagai siswa yang cemerlang, situasinya telah berubah total, seperti yang dijelaskan oleh ibunya. Dia menyelesaikan pelajaran kelas sebelasnya melalui pelajaran digital yang disiapkan oleh Kementerian. Dia gembira perang akan berakhir dengan deklarasi gencatan senjata pada 19 Januari, tetapi semuanya telah berubah.
Rawan kehilangan ayah dan saudara perempuannya dalam pemboman negara Zionis. “Saya selamat, tetapi saya kehilangan segalanya—bahkan konsentrasi saya, bahkan keinginan saya untuk belajar.”
Dia menggambarkan upayanya untuk melanjutkan pelajarannya dari bawah tenda, di tengah kebisingan anak-anak, kurangnya privasi, dan kurangnya listrik dan air. “Situasi kami seperti mencoba menanam tanaman yang tumbuh di tempat teduh di gurun tandus. Bagaimana saya bisa belajar ketika langit sedang hujan peluru? Bagaimana saya bisa mempersiapkan diri sementara saya diliputi kecemasan untuk adik laki-laki saya yang sedang syok?”
Puluhan ribu siswa Palestina di Gaza sebelumnya tidak dapat mengikuti ujian tahun lalu karena perang genosida yang sedang berlangsung dan ketidakmampuan Kementerian Pendidikan untuk menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk menyelenggarakan ujian mengingat genosida yang sedang berlangsung.
Diantara siswa-siswa itu, Nada Salouha, mengalami kenyataan sulit yang sama. Penundaan ujian yang berulang kali membuatnya kehilangan semangat untuk melanjutkan studinya. Ia berkata, “Saya sangat bersemangat dan melawan segala rintangan untuk melanjutkan studi meskipun rumah kami dibom dan dihancurkan.
Saya ingin belajar teknik di universitas, tetapi sekarang saya diliputi keputusasaan.” Ia mencatat bahwa tiga penundaan ujian sekolah menengahnya telah mengurangi keinginannya untuk belajar. “Setiap kali saya mulai meninjau kurikulum, saya ingat kenyataan menyakitkan yang sedang saya alami. Saya menjadi frustrasi dan tidak dapat menyelesaikan studi saya. Masa depan kami hilang saat kami menunggu ujian akhir, dan Tawjihi adalah tahun yang penting, karena akan berlanjut ke universitas.”
Kementerian Pendidikan telah menetapkan tanggal 13 April sebagai tanggal ujian akhir bagi siswa sekolah menengah atas. Namun, tanggal tersebut kemudian diundur setelah dimulainya kembali agresi penjajah negara Zionis di Gaza pada tanggal 18 Maret, yang menyebabkan keputusasaan dan frustrasi di kalangan siswa Tawjihi.
78.000 Siswa Masih Menanti
Ujian sekolah menengah atas merupakan tahap penting dalam kehidupan siswa Palestina, karena lulus ujian akan membuat mereka memenuhi syarat untuk melanjutkan pendidikan di universitas. Namun, siswa Palestina di Gaza tidak dapat mengikuti ujian karena perang genosida yang sedang berlangsung.
Data dari Kementerian Pendidikan menunjukkan bahwa sekitar 78.000 siswa dari Jalur Gaza tidak dapat mengikuti ujian sekolah menengah atas selama dua tahun terakhir, termasuk lebih dari 39.000 siswa tahun lalu.
Menurut data dari Kementerian Pendidikan Palestina di Ramallah, sekitar 2.000 siswa dari Jalur Gaza mengikuti ujian sekolah menengah atas tahun ini, termasuk mereka yang dapat meninggalkan Jalur Gaza. Siswa-siswa ini tersebar di 37 negara.
Menurut data tersebut, jumlah siswa yang gugur syahid di Jalur Gaza sejak awal agresi telah mencapai lebih dari 16.470 orang, dengan 25.374 orang terluka. Sebanyak 914 guru dan TU juga turut gugur syahid, dan 4.363 orang terluka.
Jumlah siswa Tawjihi yang gugur syahid dibun*h oleh penjajah sejak awal perang genosida di Jalur Gaza diperkirakan sekitar 4.000 siswa, baik laki-laki maupun perempuan, yang dijadwalkan mengikuti ujian sekolah menengah tahun lalu dan tahun ini. Mereka lahir pada tahun 2006 dan 2007.
Infrastruktur Pendidikan Hancur
Terkait korban jiwa di kalangan tenaga kependidikan, Kementerian menjelaskan bahwa tentara penjajah telah mengakibatkan syahidnya 691 guru PNS dan melukai 2.926 staff sekolah di Jalur Gaza, sementara 219 lainnya syahid dan 1.416 staf pengajar universitas terluka.
Menurut statistik terbaru dari Kantor Media Pemerintah di Gaza, penjajah negara Zionis telah menghancurkan 143 sekolah, universitas, dan lembaga pendidikan, serta menghancurkan sebagian 366 sekolah, universitas, dan lembaga pendidikan. Ia menunjukkan bahwa genosida yang sedang berlangsung telah merampas pendidikan lebih dari 785.000 siswa selama 21 bulan.