
Foto Pusat Informasi Palestina
Gaza – Dalam sebuah adegan yang mencerminkan kemerosotan kehidupan ekonomi ke bentuknya yang paling primitif, ciri-ciri realitas yang luar biasa keras sedang terbentang di Jalur Gaza, dimana uang tidak lagi berguna, dan pasar tidak lagi berfungsi seperti dulu.
Dengan kelangkaan uang tunai dan ditutupnya bank sejak dimulainya agresi negara Zionis dan dimulainya perang genosida, warga Gaza terpaksa kembali ke ekonomi pra-modern: barter, demikian mengutip Pusat Informasi Palestina, pada Sabtu, 12 Juli 2025, jam 10:44.
Barter bukan sekadar cara menukar barang dengan barang atau jasa dengan jasa. Barter telah menjadi prinsip hidup, dipraktikkan di bawah tekanan kelaparan dan kemiskinan, dan dibangun di atas satu prinsip: bertahan hidup dengan menukar apa yang seseorang miliki.
Uang yang Menganggur… dan Ekonomi yang Beku
Sejak bank-bank tutup dan sistem moneter runtuh akibat blokade dan penghancuran infrastruktur secara sistematis, sirkulasi uang tunai praktis tidak ada. Gaji terhenti, lapangan kerja terganggu, dan siklus jual beli terhenti, menyebabkan ekonomi tunai kehilangan nilainya. Barter telah menggantikannya sebagai satu-satunya alternatif.
Warga Abu Khaled Mansour, sambil memegang sekantong kecil tepung, menceritakan bagaimana ia mendapatkannya: “Saya menukarnya dengan beberapa kacang-kacangan yang saya miliki. Saya tidak punya uang, tetapi saya memiliki barang-barang yang mungkin tidak saya butuhkan sekarang… Barter telah menjadi gaya hidup, bukan sebatas solusi sementara.”
Terlepas dari pahitnya situasi, Mansour menjelaskan bahwa semangat solidaritas masih tetap ada: “Terkadang saya memberi lebih dari yang saya terima, hanya karena pihak lain membutuhkannya. Kita tidak lagi menghitung untung rugi… Kita menghitung kebutuhan.”
Pasar dalam Genggaman Telepon: Barter Digital
Ironisnya, ekonomi yang “kembali ke masa lalu”, namun masih diiringi dengan cara-cara modern. Platform media sosial telah bertransformasi menjadi pasar digital untuk barter, tempat barang ditawarkan dan transaksi dilakukan bukan dengan uang, melainkan dengan kebutuhan.
Umm Jamal al-Nabahin, seorang ibu dari lima anak, mengatakan ia mengandalkan grup WhatsApp untuk menukar pakaian anak-anaknya dengan karton susu atau persediaan makanan: “Saya tidak punya uang, tetapi saya punya ponsel dan internet. Alat-alat ini telah menjadi satu-satunya cara saya untuk mengamankan hidup anak-anak saya.”
Di grup-grup ini, semuanya ditawarkan: popok, obat-obatan, peralatan dapur, bahkan pakaian bekas. Satu-satunya standar yang digunakan adalah kebutuhan, bukan nilai pasar.
Ekonomi untuk Bertahan Hidup: Runtuhnya Fungsi Moneter
Ekonom Khaled Abu Amer menggambarkan fenomena ini sebagai “pergeseran tajam menuju ekonomi untuk bertahan hidup,” meyakini bahwa “kembalinya barter berarti runtuhnya fungsi moneter yang hampir total,” yang merupakan fase paling berbahaya bagi sistem ekonomi mana pun.
Abu Amer memperingatkan bahwa kelanjutan situasi ini dapat menyebabkan disintegrasi total struktur ekonomi di Jalur Gaza, yang semakin mengisolasi Gaza dari pasar-pasar di sekitarnya. Hal ini akan melemahkan peluang pemulihan atau reintegrasi ke dalam sistem keuangan regional di masa mendatang.
Ia menambahkan, “Barter mungkin mempertahankan standar hidup minimum, tetapi ia menghilangkan kemampuan masyarakat untuk tumbuh, melemahkan interaksi dengan pasar, dan mengembalikan kita ke model ekonomi yang didasarkan pada tingkat kelangsungan hidup minimum, bukan produksi maksimum.”
Pasca Barter: Masyarakat Mencari Martabat
Barter bukan sekadar perilaku ekonomi darurat; ia telah menjadi cerminan rapuhnya kehidupan sehari-hari di bawah pengepungan, pemboman, dan kelaparan. Ketika seseorang kehilangan kemampuan untuk membeli sekotak susu atau obat-obatan sederhana dan terpaksa menyerahkan pakaian atau barang-barang rumah tangganya sebagai gantinya, persamaannya bukan lagi sekadar ekonomi, melainkan kemanusiaan yang mendalam.
Barter, di Gaza saat ini, tidak hanya menjadi sarana penghidupan, tetapi juga seruan diam-diam di hadapan sistem global yang memilih untuk tetap diam dalam menghadapi bencana kemanusiaan yang menghancurkan seluruh satu bangsa secara keseluruhan.
Akhir yang Tak Seperti Permulaan: Ekonomi Tanpa Cakrawala
Di tengah lanskap suram ini, masa depan tampaknya akan semakin suram kecuali intervensi kemanusiaan yang mendesak dilaksanakan untuk memulihkan kehidupan sistem perbankan dan menyuntikkan likuiditas serta dukungan ke dalam ekonomi lokal.