
Penulis: Pendudukan tidak berhenti pada penghancuran, tetapi malah menggunakan kelaparan sebagai senjata dan membangun titik-titik distribusi bantuan yang dengan cepat berubah menjadi penyergapan mematikan (Al Jazeera)
Di tengah meningkatnya tekanan untuk memasukkan lebih banyak bantuan ke Gaza, warga Palestina di Jalur Gaza terbangun oleh mimpi buruk baru yang menyesatkan bernama “Kota Kemanusiaan,” demikian tulis Zaher Saleh, seorang penulis dan aktivis media Palestina dan anggota Persatuan Jurnalis Arab, yang diterbitkan situs Al Jazeera Net pada 18 Juli 2025 pada 17.58 (waktu Mekkah).
Sejak Katz mengumumkan rencananya, sifat dan tujuan “negara Zionis”-nya menjadi jelas. Siapa pun yang memasuki kota ini tidak akan meninggalkan Jalur Gaza, kecuali akan keluar dari teritorialnya. Ini berarti deportasi langsung dan pencekikan atas apa yang masih tersisa dari eksistensi Palestinanya di Jalur Gaza, sebagai bagian dari strategi sistematis yang bertujuan untuk melenyapkan secara diam-diam.
Dalam konteks ini, situs web Counterpunch mengungkap laporan mengejutkan yang menyoroti rencana negara Zionis yang digambarkan sebagai “paling berani” dalam genosida modern. Rencana ini menyerukan pembentukan apa yang disebut “kota kemanusiaan” di Jalur Gaza selatan. Namun, dibalik nama yang menipu ini tersembunyi niat mengerikan untuk mendeportasi paksa ratusan ribu warga Palestina ke kamp konsentrasi terselubung, bukan untuk bertahan hidup, melainkan untuk membuka jalan bagi pembersihan etnis secara menyeluruh.
Laporan tersebut, yang mengutip Haaretz, melaporkan bahwa Menteri Pertahanan Katz mengusulkan pemindahan sekitar 600.000 warga Palestina ke wilayah bertembok yang akan dibangun di atas reruntuhan kota Rafah di Jalur Gaza selatan. Kota ini akan ditetapkan sebagai kota “kemanusiaan”.
Namun, rencana tersebut mencakup penyaringan penduduk Gaza dan pemisahan mereka yang diduga anggota Gerakan Perlawanan Islam (Ham4s), sebagai langkah awal untuk memindahkan paksa warga sipil keluar dari Jalur Gaza, merebut wilayah, mendemiliterisasi Jalur Gaza, dan menerapkan rencana deportasi yang sebelumnya diusulkan oleh Donald Trump.
Menurut Katz, Netanyahu memimpin upaya untuk menemukan negara-negara yang bersedia menampung warga Gaza. Namun, sebuah sumber negara Zionis mengungkapkan bahwa konsekuensi politik, hukum, dan ekonomi dari rencana tersebut menyulitkan implementasinya, menurut beberapa pejabat yang mengetahui hal tersebut.
Sumber yang sama menjelaskan bahwa para pengambil keputusan di balik rencana ini menyadari bahwa kesulitan utamanya terletak pada kurangnya kemauan negara-negara yang telah didekati negara Zionis untuk menampung penduduk dari Gaza.
Counterpunch memperingatkan bahwa tujuannya bukanlah untuk memukimkan kembali penduduk, melainkan untuk sepenuhnya menghapus keberadaan mereka dari geografi Palestina. Ini merupakan perpanjangan langsung dari ideologi Zionis yang telah lama memimpikan kendali penuh atas Gaza tanpa warga Palestina. Mereka yang terjebak di “kota” ini tidak akan diizinkan meninggalkannya atau kembali ke rumah mereka yang hancur. Mereka akan tetap terjebak di zona militer tertutup di bawah ancaman terus-menerus hingga jalan keluar terakhir mereka diatur.
Rencana tersebut merupakan pelanggaran berat hukum internasional. Pemindahan paksa penduduk wilayah yang dijajah merupakan kejahatan perang dan pembersihan etnis berdasarkan konvensi PBB. Namun, didorong oleh obsesinya terhadap “solusi akhir”, Katz tampaknya enggan mundur. Ia bahkan mengumumkan dimulainya pembangunan selama periode gencatan senjata yang diperkirakan akan terjadi, menandakan percepatan yang panik untuk memaksakan realitas baru sebelum adanya upaya penyelesaian potensial apa pun.
Laporan tersebut secara langsung mendakwa komunitas internasional, yang tidak hanya berdiam diri tetapi juga secara aktif berpartisipasi dalam pembantaian yang sedang berlangsung selama 20 bulan, melalui dukungan militer dan perlindungan diplomatik. Lebih dari 55.000 warga Palestina, mayoritas perempuan dan anak-anak, telah tewas akibat pemboman negara Zionis yang menargetkan rumah sakit, toko roti, masjid, sekolah, dan kamp pengungsi.
Penjajah tidak berhenti pada kehancuran; mereka menggunakan kelaparan sebagai senjata, mencegah bantuan mencapai mereka, menyerang konvoi bantuan, dan mendirikan titik-titik distribusi bantuan yang dengan cepat berubah menjadi penyergapan mematikan. Melengkapi gambaran suram ini, “Yayasan Kemanusiaan Gaza” didirikan dengan dukungan Amerika, yang bertujuan mengubah bantuan menjadi alat tekanan dan kontrol, jauh dari pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan organisasi independen lainnya. Laporan tersebut dengan getir mempertanyakan: Bagaimana mungkin sebuah pemerintahan yang didirikan di atas reruntuhan Holocaust membangun kamp penahanan massal saat ini?
Dan bagaimana Washington terus memasok senjata, mencegah akuntabilitas di Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan menghukum siapa pun yang berani mengungkapkan kebenaran, seperti Pelapor Khusus PBB Francesca Albanese?
Di dunia Arab, situasinya bahkan lebih tragis. Rezim-rezim terus maju dengan normalisasi dan kesepakatan, sementara rakyat Palestina dibiarkan menderita kelaparan, kematian, dan pengungsian. CounterPunch bertanya: Di mana kemarahan bangsa Arab?
Di mana garis merah yang telah lama dikibarkan oleh para pimpimpinan negara-negara itu?
Meskipun gambarannya suram, laporan tersebut memberikan secercah harapan dalam bentuk pertemuan darurat yang diadakan oleh “Grup Den Haag” pada 15 dan 16 Juli di Kolombia. Pertemuan ini bertujuan untuk mendukung gugatan Afrika Selatan terhadap negara Zionis di Mahkamah Internasional atas kejahatan genosida.
Situs web tersebut menyerukan kepada semua negara yang mengaku berkomitmen pada keadilan untuk segera bergabung dalam gugatan ini dan memberikan tekanan nyata untuk menghentikan rencana penjajah yang membawa bencana tersebut.
Situs web tersebut juga menyerukan kepada anggota Kongres AS untuk menyatakan posisi yang jelas dan segera, untuk menghentikan omong kosong dan mendanai bom yang menghancurkan sekolah dengan mengorbankan anak-anak dan perempuan, dan untuk berhenti berdiam diri tentang pembantaian paling keji yang dilakukan di depan mata dunia.