
Foto Palinfo
Operasi Tufan Al-Aqsa pada 7 Oktober 2023 masih terus memicu perdebatan di dalam negara penjajah Zionis. Dianggap sebagai peristiwa penting yang menimbulkan tantangan eksistensial bagi negara penjajah itu dan menegaskan kerapuhan di dalamnya.
Mengutip Pusat Informasi Palestina pada Rabu, 20 Agustus 2025, 08.58, dalam analisis terbarunya tentang operasi tersebut, Institut Studi Keamanan Nasional negara Zionis menyimpulkan bahwa Tufan Al-Aqsa menghancurkan mitos superioritas keamanan dan intelijen negara Zionis yang telah lama dibanggakan. Ditambah lagi, ribuan orang tewas dan terluka hanya dalam beberapa jam, yang merupakan kejutan eksistensial bagi entitas Zionis.
Ratusan pejuang Brigade Al-Qa554m berpartisipasi dalam operasi dari berbagai arah di Jalur Gaza, menargetkan pemukiman Zionis yang mengelilingi Gaza, sebelum bergabung dengan para pejuang dari berbagai faksi.
Dalam sebuah studi yang disusun oleh Guy Hazoot yang membandingkan Oktober 2023 dengan Perang Oktober 1973, Institut tersebut menemukan bahwa yang membuat perbandingan tersebut lebih menyakitkan adalah bahwa apa yang terjadi di Jalur Gaza bukanlah serangan oleh kekuatan besar atau aliansi regional, melainkan pukulan dari pasukan perlawanan yang diblokade, yang membongkar kedalaman krisis struktural dalam sistem negara Zionis.
Peneliti tersebut menegaskan bahwa “kepemimpinan negara Zionis” terkejut dengan kemampuan perlawanan Palestina untuk menembus perbatasan yang dibentengi, melumpuhkan pangkalan militer, menangkap tentara, dan menunjukkan militer sebagai pihak yang tak berdaya. Ia juga menegaskan bahwa perlawanan tersebut mampu mengubah kelemahan negara Zionis menjadi celah strategis yang fatal.
Perpecahan dan Krisis Pasca Tufan
Studi ini mengungkapkan bahwa masyarakat negara Zionis belum pulih dari gempa bumi ini (Tufan Al-Aqsa), dan bahwa para pemimpin negara Zionis belum belajar dari perang 1973. Studi ini menyimpulkan bahwa ketergantungan yang berlebihan pada teknologi, mulai dari Iron Dome hingga sistem sensor dan pagar pintar, menciptakan rasa aman yang palsu yang menyebabkan para pemimpin politik dan militer mengabaikan peringatan yang paling sederhana sekalipun. Ketika operasi terjadi, militer tidak memiliki rencana yang siap pakai atau komando terpadu, dan terjerumus ke dalam kekacauan, menunjukkan rapuhnya seluruh lembaga keamanan.
Hazoot membandingkan dampak perang 1973 dan perang 2023 terhadap masyarakat negara Zionis, karena keduanya menghancurkan mitos superioritas keamanan dan intelijen negara Zionis yang telah lama dibanggakan. Ia menyimpulkan bahwa masyarakat negara Zionis muncul pada tahun 1973 dengan rasa persatuan internal, munculnya pemimpin politik baru seperti Menachem Begin, dan arena politik menyaksikan revolusi yang mengakhiri dominasi Partai Buruh dan membuka jalan bagi kubu kanan.
Setelah tahun 2023, masyarakat negara Zionis mengalami perpecahan mendalam yang diperparah oleh perang. Satu faksi meyakini bahwa melanjutkan pertempuran hingga “penyelesaian penuh” adalah satu-satunya cara untuk memulihkan pencegahan, sementara faksi lain menyerukan negosiasi untuk mengakhiri pertumpahan darah manusia dan melemahnya ekonomi.
Menurut Hazoot, perpecahan ini bukan lagi sekadar perdebatan politik; perpecahan ini telah berubah menjadi krisis identitas yang mengancam kohesi seluruh proyek Zionis.
Isolasi Moral
Ia juga menunjukkan bahwa perlawanan Palestina telah berhasil memobilisasi solidaritas rakyat global, menempatkan negara Zionis dalam posisi isolasi moral. Ia mencatat bahwa kekalahan moral negara Zionis pada tahun 2023 jauh lebih besar daripada kekalahan militernya pada tahun 1973.
Di sisi lain, penulis percaya bahwa perang di Gaza telah membuka kembali perdebatan tentang batas-batas kekuatan negara Zionis. Perang penjajah sebelumnya berakhir dengan memperkuat citra negara Zionis sebagai kekuatan regional utama, sementara perang Gaza menunjukkan bahwa negara Zionis dapat kalah dalam perang meskipun superioritasnya, dan bahwa kekuatan udara, kendaraan lapis baja, dan intelijen tidak cukup untuk memenangkan pertempuran melawan musuh yang memiliki tekad dan doktrin tempur.
Terkait hal ini, Menteri Dalam Negeri Australia menanggapi Netanyahu: “Kekuasaan tidak diukur dari jumlah orang yang bisa anda ledakkan atau jumlah anak yang bisa anda buat kelaparan.”
Mitos pencegahan telah runtuh, tidak hanya di mata Palestina, tetapi juga di mata seluruh kawasan, karena Iran, Hizbullah, dan kekuatan-kekuatan lain memantau apa yang terjadi dan membangun strategi mereka atas dasar bahwa negara Zionis tidak lagi tak tergoyahkan, menurut studi tersebut.
Peneliti tersebut mengatakan: Jika elit politik (negara Zionis) tidak menunjukkan kemampuan untuk belajar dari pengalaman dan mendefinisikan ulang tujuan serta alat perang, proyek Zionis mungkin menghadapi risiko erosi bertahap dari dalam sebelum ancaman eksternal.
Di akhir studinya, peneliti membunyikan alarm bagi negara Zionis, dengan menekankan bahwa para pemimpin politik harus menyadari bahwa penjajahan yang berkelanjutan melahirkan perlawanan tanpa akhir, dan bahwa mengandalkan penghancuran kehendak rakyat adalah ilusi yang mematikan.