
Foto Palinfo
Gaza – Sudah sejak beberapa hari, desa Al-Sabra, di selatan Kota Gaza, telah menjadi sasaran agresi negara Zionis secara intens dan tak henti-hentinya, siang maupun malam, semua rumah-rumah, gedung-gedung dan pemukiman tinggal warganya dihancurleburkan.
Selasa, 26 Agustus 2025, 08.18
Mengutip Pusat Informasi Palestina, pesawat-pesawat tempur menghujani desa itu dengan rudal, dan artileri berat mengepung pintu masuknya, menyasar semua yang bergerak di dalamnya. Selain itu, operasi peledakan menggunakan robot digunakan untuk menghancurkan dan meluluhlantakkan rumah-rumahnya.
Penghancuran Sistematis
Menurut seorang koresponden Pusat Informasi Palestina, puluhan serangan udara menargetkan rumah dan properti di lingkungan tersebut, secara bertahap menghancurkannya menjadi tumpukan puing. Ini merupakan kelanjutan yang mengerikan dari kehancuran yang menimpa desa tersebut dalam invasi Kota Gaza sejak Oktober 2023.
Seluruh blok rata dengan tanah, dan seluruh keluarga tewas tertimbun reruntuhan rumah mereka. Ambulans dan kendaraan pertahanan sipil kesulitan menjangkau korban luka akibat penembakan dan penargetan jalan menuju daerah tersebut yang terus berlanjut.
Mereka yang selamat dari pengeboman mendapati diri mereka kehilangan tempat tinggal, melarikan diri ke tempat yang tak dikenal di tengah bau mesiu dan asap tebal, seolah-olah mereka melarikan diri dari kematian menuju kematian.
Pembantaian Terang-terangan
Warga menggambarkan apa yang terjadi sebagai pembantaian terang-terangan: mayat-mayat berserakan di bawah reruntuhan yang tak seorang pun berhasil mengevakuasinya, anak-anak terjebak tanpa air atau makanan, dan keluarga-keluarga yang terlantar tidur di tempat terbuka setelah rumah mereka hancur menimpa mereka.
Masjid-masjid dan puskesmas tak ada yang luput dari pengeboman. Segala sesuatu di desa itu diserang oleh mesin perang negara Zionis, yang perlahan-lahan bergerak menuju Kota Gaza untuk menghancurkannya, sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Perdana Menteri negara Zionis dan Menteri Perangnya.
Situasi kemanusiaan sangat memprihatinkan. Ribuan keluarga terpaksa mengungsi ke daerah yang lebih padat dan kurang aman, di tengah pemadaman listrik dan air, serta kekurangan makanan dan obat-obatan. Suara anak-anak bercampur dengan jeritan keluarga yang berduka di tengah ledakan yang terus-menerus.
Desa Bersejarah
Meskipun desa Sabra merupakan salah satu desa terkecil di kota ini dalam hal jumlah penduduk dan luas wilayah, desa ini memiliki sejarah politik dan sosial yang kaya, dan penduduknya merupakan pelopor dalam perlawanan terhadap penjajahan.
Nama desa ini berasal dari nama Sheikh Salem Sabra, seorang waliyullah yang saleh, dan makamnya masih dikenal hingga saat ini di pemakaman tua dekat bundaran Asqoula di sebelah timur desa tersebut.
Sabra bertanggung jawab untuk memperingatkan dan memantau invasi pada masa pemerintahan Salahudin Al-Ayyubi, dengan cara menyalakan api untuk menciptakan asap sebagai tanda peringatan invasi. Keluarga Sabra berdiri di Tekkeh (semacam surau tempat dzikir – pent.) Sheikh tersebut hingga belakangan ini.
Secara historis, desa ini telah menjadi titik api bagi militer negara Zionis, terutama pada tahun 1970-an, ketika para pejuang fidaiyun beroperasi dengan penuh keleluasaan memimpin operasi melawan tentara dan pemukim sebelum ditangkap dan dipenjarakan di penjara-penjara negara Zionis, antara lain penjara Ansar 2 dan Ansar 3 di Gurun Negev.
Undang-Undang Tamir negara Zionis juga diterbitkan untuk pertama kalinya terhadap seorang warga di desa tersebut, seorang tahanan Yousef Atta al-Khour, setelah keteguhannya yang legendaris selama interogasi. Ia kemudian menjadi orang pertama yang dijatuhi hukuman penjara seumur hidup dan dibebaskan dalam perjanjian pertukaran tahanan tahun 1982.
Desa ini tetap menjadi penyulut perlawanan bagi semua faksi, menjadi tuan rumah bagi peristiwa Intifada dan Brigade Al-Qa554m, di mana para pemimpin Palestina seperti Sheikh Ahmed Yassin, Ahmed al-Ja’abari, dan Salah Nassar gugur sebagai syahid.
Warga desa ini juga melawan sejumlah serangan dan penyerbuan negara Zionis, hingga mengakibatkan kematian dan cedera di dalam barisan pasukan penjajah.
Secara geografis, desa ini membentang dari Jalan Omar al-Mukhtar di utara hingga Al-Majma’ Al-Islamy di selatan, dan dari Universitas Islam di barat hingga Persimpangan Asqoula di timur. Desa ini dipecah dengan jalan terbesar kedua di Kota Gaza, Jalan Al-Tsalathini, di samping Jalan Al-Maghribi dan Jalan Al-Sina’ah atau Al-Muhafaza.
Desa ini memiliki sekitar 40 masjid, yang paling terkenal adalah Masjid Al-Salam, Masjid Abdullah Azzam, dan Masjid Majma’ Al-Islamy, di samping beberapa masjid-masjid kecil. Di sana juga terdapat puskesmas primer pemerintah dan Pusat Kesehatan Sabra, yang telah dikelola oleh UNRWA sejak 1989 dengan dukungan dari pemerintah Finlandia.