
Foto Pusat Informasi Palestina
Di sebuah kelas yang hancur di pusat penampungan di Kota Gaza, seorang warga Sajida Al-Baba duduk di samping putranya yang belum genap delapan tahun, Rajab. Puteranya menderita amputasi kaki dan patah tulang yang tersebar di sekujur tubuhnya yang mungil. Tawa dan sepedanya tak lagi menghiasi hari-hari keluarga tersebut. Yang tersisa hanyalah air mata yang sesekali menetes, mengiringi kata-kata bocah yang menolak untuk melihat kakinya yang diamputasi dan menangis kepada ibunya, “Aku mau kakiku ditutup.”
Mengutip Pusat Informasi Palestina, Kamis, 11 September 2025, 11.55, Rajab adalah salah satu dari ribuan anak yang perang genosida negara Zionis telah membuatnya menjadi korban amputasi, hidup tanpa kaki palsu, kursi roda, atau alat bantu, kehilangan hak-hak paling dasar mereka untuk mendapatkan perawatan dan kebebasan bergerak.
Perampasan Alat Bantu yang disengaja
Pusat Hak Asasi Manusia Palestina mengkonfirmasi dalam sebuah laporan terbaru bahwa otoritas penjajah telah mencegah masuknya alat bantu bagi penyandang disabilitas dan amputasi, yang merupakan hukuman mati yang lambat bagi mereka.
Di tengah pengungsian paksa yang baru, puluhan ribu penyandang disabilitas menghadapi ancaman kematian yang mengintai, karena mereka tidak memiliki sarana untuk melarikan diri selama pengeboman atau pengungsian.
Laporan hak asasi manusia menunjukkan bahwa Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sendiri telah mengakui bahwa penjajah telah menolak akses lebih dari 83% penyandang disabilitas terhadap alat bantu ini dengan dalih “penggunaan ganda”. Penolakan ini telah memaksa banyak orang merangkak jauh di antara reruntuhan untuk melarikan diri atau mencari perawatan, yang memperburuk cedera mereka.
Bencana Amputasi yang Belum Pernah Terjadi Sebelumnya
Sejak Oktober 2023 hingga saat ini, Kementerian Kesehatan di Gaza telah mencatat sekitar 4.800 kasus amputasi, cedera otak, atau cedera tulang belakang. Hampir setengahnya adalah anak-anak dan dewasa muda, yang sebagian besar kehilangan anggota tubuh akibat kurangnya pasokan medis dan bedah, sehingga amputasi menjadi satu-satunya pilihan yang dapat digunakan dokter untuk menyelamatkan nyawa.
Angka-angka ini menunjukkan bahwa Gaza telah menjadi salah satu tempat di dunia dengan jumlah anak yang diamputasi tertinggi, sebuah pemandangan yang melambangkan tragedi kemanusiaan paling brutal.
Kesaksian dari Hati yang Menderita
Hamza Abdel Nasr, 33 tahun, dari Kamp Jabalia, kehilangan kedua kakinya akibat pemboman negara Zionis. Ia kini tinggal di Kota Gaza dengan kursi roda yang usang, tidak mampu melewati jalan-jalan yang hancur. Ia berkata, “Ketakutan terbesar saya adalah dikeluarkannya perintah evakuasi baru. Saya memiliki dua orang yang diamputasi dan tidak memiliki kursi roda elektrik untuk membantu saya bergerak. Dengan adanya evakuasi apapun, saya akan dibiarkan mati, dan keluarga saya akan tetap terjebak bersama saya dalam bahaya karena mereka tidak akan meninggalkan saya.”
Kesaksian manusia ini mengungkap sekilas realitas ribuan orang terluka yang tidak mendapatkan terapi fisik dan akses untuk perawatan eksternal. Dari 953 pasien yang dirujuk untuk bepergian, hanya 54 yang dapat meninggalkan Jalur Gaza, meninggalkan sisanya menghadapi rasa sakit dan penderitaan setiap hari.
Runtuhnya Pusat Perawatan dan Penutupan Horizons
Pasukan penjajah menghancurkan rumah sakit dan pusat-pusat yang mengkhususkan diri dalam prostetik dan rehabilitasi, termasuk Rumah Sakit Al-Wafa dan Rumah Sakit Al-Amal, selain menghancurkan departemen ortopedi di Kompleks Al-Shifa. Bahkan pusat prostetik Kotamadya Gaza berisiko runtuh akibat blokade dan pencegahan masuknya bahan-bahan penting.
Di tengah keruntuhan menyeluruh ini, ribuan penyandang amputasi menghadapi ketidakmampuan total untuk mendapatkan perawatan atau alat bantu, sementara penderitaan fisik, psikologis, dan sosial mereka semakin parah.
Dimensi Hukum dan Hak Asasi Manusia
Organisasi-organisasi HAM meyakini bahwa kebijakan-kebijakan ini merupakan tindakan genosida, karena hukum internasional menetapkan bahwa menyebabkan cedera fisik atau psikologis yang serius terhadap anggota kelompok yang dilindungi merupakan kejahatan genosida. Lebih lanjut, penolakan perawatan medis dan perjalanan bagi para penyandang amputasi merupakan pelanggaran langsung terhadap Konvensi Jenewa Keempat dan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas, yang menjamin hak atas perawatan, mobilitas, dan kehidupan yang bermartabat.
Seruan untuk Bertindak
Tuntutan HAM dari komunitas internasional dan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk segera membuka koridor kemanusiaan dan mewajibkan otoritas penjajah untuk mengizinkan masuknya pasokan medis dan anggota tubuh palsu tanpa hambatan terus berlanjut.
Seruan juga disuarakan kepada Mahkamah Pidana Internasional untuk segera membuka penyelidikan atas pelanggaran-pelanggaran yang merupakan kejahatan genosida, dan untuk mendesak negara-negara pihak Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas untuk memberikan tekanan politik dan hukum yang serius guna melindungi hak-hak penyandang disabilitas di Gaza.