
Perubahan nama Departemen Pertahanan menjadi Departemen Perang di Washington bertepatan dengan disahkannya anggaran pertahanan sebesar satu triliun dolar (Prancis), foto diambil dari Al Jazeera
Oleh Moein Manna
Diterbitkan ِAl Jazeera pada 9/9/2025, 08:51 (waktu Mekah)
Pada 6 September 2025, Presiden AS Donald Trump menandatangani perintah eksekutif yang mengganti nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang”, yang memicu badai kontroversi karena merupakan kembalinya secara simbolis istilah yang lazim hingga setelah Perang Dunia II.
Nama baru ini, dalam arti eksplisit dan abstraknya, mencerminkan kembalinya logika kekuatan keras sebagai alat utama kebijakan luar negeri. Hal ini menunjukkan bahwa Washington tidak lagi puas dengan bahasa pencegahan atau pertahanan, melainkan berupaya menerapkan persamaan baru melalui kekuatan militer dan diplomasi yang tegas.
Laporan ini mengkaji simbolisme perubahan nama dari “Pertahanan” menjadi “Perang” serta konotasi historis dan politisnya. Juga menjawab pertanyaan: Apakah ini sekadar perubahan kosmetik, atau merupakan reposisi geopolitik? Apa implikasi doktrin baru ini terhadap konflik regional di Timur Tengah?

Trump setelah menandatangani perintah eksekutif untuk memulihkan nama Departemen Pertahanan (Eropa)
Simbolisme Perubahan Nama dari Pertahanan menjadi Serangan
Keputusan Trump untuk mengganti nama Departemen Pertahanan menjadi “Departemen Perang” mengandung konotasi historis dan politis yang mendalam. Nama asli ini pernah digunakan hingga tahun 1947, ketika diubah sebagai bagian dari restrukturisasi lembaga militer setelah Perang Dunia II.
Saat ini, Trump mengganti nama departemen tersebut di tengah meningkatnya ketegangan global, seolah-olah Washington mengumumkan kembalinya logika kekuatan keras (hard power) sebagai alat utama kebijakan luar negerinya.
Presiden AS mengatakan kepada para wartawan setelah menandatangani perintah eksekutif bahwa nama baru tersebut “lebih tepat mengingat kondisi dunia saat ini,” dan menambahkan bahwa nama tersebut “mengirim pesan kemenangan” kepada dunia.
Pernyataan-pernyataan ini menunjukkan pergeseran dalam bahasa politik Amerika, dari bahasa pertahanan menjadi bahasa kemenangan, dan dari logika pencegahan menjadi logika inisiatif ofensif.
Trump tidak dapat secara resmi mengubah nama departemen tanpa persetujuan Kongres, tetapi perintah eksekutif mengizinkan penamaan baru tersebut digunakan sebagai nama kedua untuk Departemen Pertahanan.
Perintah eksekutif tersebut tidak hanya mengubah nama tetapi juga menetapkan gelar “Menteri Perang” di samping “Menteri Pertahanan.”
Menteri Pertahanan Pete Hegseth, yang hadir pada penandatanganan perintah eksekutif dan ditugaskan oleh Trump untuk mengubah departemen secara radikal, mengatakan perubahan tersebut “bukan hanya tentang nama, tetapi tentang memulihkan semangat juang.”
Hegseth, mantan pembawa acara Fox News, menyambut baik perubahan nama tersebut dan mengunggah video plakat “Menteri Perang” baru yang terpasang di pintu kantornya di Pentagon.
Pencantuman gelar-gelar ini dalam dokumen resmi memberikan legitimasi kelembagaan terhadap pergeseran doktrin militer dan membangun fase baru interaksi antara cabang eksekutif dan militer, di mana “perang” bukan hanya sebuah pilihan, tetapi juga sebuah identitas.
Dalam hal ini, penggantian nama ini bukan sekadar keputusan administratif, melainkan pengumuman arah strategis baru yang mendefinisikan ulang hubungan antara Amerika Serikat dan dunia melalui lensa konflik, bukan pemahaman.
Implikasi Doktrin Baru bagi Timur Tengah
Dengan pengumuman Washington bahwa Departemen Pertahanan akan mengubah namanya menjadi “Departemen Perang”, doktrin militer baru mulai terbentuk di lapangan, khususnya di Timur Tengah.
Pemerintah AS sebelumnya telah mengarahkan pengerahan “kemampuan tambahan” ke wilayah tanggung jawab Komando Pusat, sebuah langkah yang dipandang sebagai penguatan langsung kehadiran militer AS di kawasan tersebut, di tengah meningkatnya ketegangan antara Iran dan negara Zionis serta meningkatnya ancaman transnasional.
Menteri Hegseth membenarkan pengerahan ini sebagai upaya untuk “memperkuat postur pertahanan kita di kawasan,” tetapi pembenaran ini membawa pesan pencegahan yang jelas yang melampaui batasan pertahanan. Pernyataan ini mengungkap menguatnya gagasan pergeseran doktrin militer dari pertahanan pasif menjadi pencegahan ofensif.
Washington kini memandang kehadiran militer yang besar sebagai cara untuk menciptakan stabilitas melalui kekuatan, alih-alih melalui mediasi atau negosiasi. Strategi baru ini membentuk kembali keseimbangan kekuatan di kawasan dan memberikan tekanan militer langsung kepada kekuatan-kekuatan regional yang ingin memperluas pengaruhnya.

Efektivitas Perubahan
Realitas menimbulkan pertanyaan serius tentang efektivitas doktrin baru ini, mengingat kompleksitas situasi regional dan tantangan pencegahan di dunia multipolar.
Dalam konteks eskalasi, Amerika Serikat telah melancarkan serangan militer yang menargetkan tiga fasilitas nuklir Iran dalam upaya mengganggu program nuklir Iran.
Langkah ini, yang termasuk dalam doktrin “perang pre-emptif”, dimaksudkan untuk mengirimkan pesan pencegahan yang kuat kepada Teheran. Namun, penilaian awal intelijen AS menunjukkan bahwa serangan-serangan ini “tidak menghancurkan komponen inti program nuklir Iran, melainkan menundanya selama berbulan-bulan.”
Penilaian ini menyoroti terbatasnya efektivitas kekuatan militer dalam mencapai tujuan strategis jangka panjang.

Amerika Serikat melakukan serangan militer yang menargetkan tiga fasilitas nuklir Iran (Twitter)
Serangan terbatas, meskipun menunjukkan kesiapan untuk menggunakan kekuatan, mungkin tidak cukup untuk mengubah arah program nuklir yang telah mengakar kuat dan bahkan dapat menyebabkan eskalasi yang tidak terduga.
Perdamaian melalui Kekuatan: Doktrin Penangkalan Baru
Dalam penjelasan resmi atas keputusan untuk mengubah nama Departemen Pertahanan, Gedung Putih menyatakan bahwa tujuannya adalah untuk “memaksakan perdamaian melalui kekuatan.” Frasa ini, yang dimuat dalam pernyataan resmi, merangkum doktrin baru yang diadopsi oleh Washington di dunia dan, konsekuensinya, di Timur Tengah.
Amerika Serikat tidak lagi berupaya meredakan ketegangan melalui mediasi atau aliansi tradisional. Sebaliknya, Amerika Serikat mengandalkan penggunaan kekuatan militer sebagai sarana untuk menegaskan kembali prestise internasionalnya, terutama di kawasan di mana kekuatan regional dan internasional bersaing untuk mendapatkan pengaruh.
Inti dari transformasi ini adalah anggaran Departemen Pertahanan yang baru, yang telah melampaui $1 triliun, yang memicu kontroversi luas di dalam Kongres AS. Di antara mereka yang menganggapnya sebagai anggaran “perdamaian” yang bertujuan untuk pencegahan, dan mereka yang menganggapnya sebagai anggaran “perang” yang tidak dapat dibenarkan, muncul pertanyaan tentang kelayakan pengeluaran besar-besaran ini tanpa adanya perang yang komprehensif.
Kontroversi ini mencerminkan perpecahan internal dalam prioritas Washington, antara mereka yang mendorong dominasi militer dan mereka yang menuntut pemikiran ulang strategi. Pengeluaran besar-besaran ini juga menunjukkan bahwa perubahan nama merupakan bagian dari proyek mahal yang membutuhkan investasi besar-besaran dalam persenjataan, teknologi militer, dan penguatan kehadiran militer.
Perubahan nama ini bukan sekadar langkah simbolis; namun memiliki konsekuensi finansial yang sangat besar. Politico, dalam sebuah laporan yang diterbitkan pada 6 September 2025, memperkirakan bahwa biaya amandemen peraturan, pencetakan dokumen resmi, dan pembaruan plat nomor pemerintah dapat mencapai miliaran dolar.
Biaya finansial langsung ini, di samping biaya geopolitik yang diwakili oleh risiko eskalasi, menegaskan bahwa perubahan bukan sekadar perubahan citra, melainkan keputusan strategis yang komprehensif dengan dimensi finansial dan politik yang mendalam.