
Foto Palinfo Com
Ramallah – Di balik pintu baja tempat menyimpan brankas bank-bank Palestina, uang tidak disimpan sebagai nilai dinamis yang menggerakkan pasar dan ekonomi. Sebaliknya, uang tersebut diubah menjadi beban statis dan berat, yang tidak dapat memenuhi peran vitalnya.
Mengutip laporan Pusat Informasi Palestina pada Selasa, 24 Juni 2025, 10:10 AM bahwa Shekel negara Zionis, yang diberlakukan sebagai alat pembayaran sah utama di pasar Palestina berdasarkan Protokol Ekonomi Paris, saat ini mengalami penyempitan parah di arteri sistem perbankan Palestina. Hal ini disebabkan oleh penolakan bank-bank negara Zionis selama enam bulan untuk menerima kelebihan uang tunai yang dikumpulkan oleh rekan-rekan mereka di Palestina, yang jelas-jelas melanggar perjanjian yang ditandatangani, terutama pagu penyerapan triwulanan yang disepakati sebesar 4,5 miliar shekel.
Mari bergabung ke channel whatsapp kami untuk mendapatkan update informasi terkini: https://whatsapp.com/channel/0029Vb6Ksjq7dmee2ynP3E2x
Dengan terus mengalirnya uang tunai dalam jumlah besar dari para pekerja di wilayah Al-Dakhil (tanah Palestina yang dijajah sejak 1948), dari perdagangan eceran, dan dari pasar uang, lebih dari 6,5 miliar shekel telah terkumpul di bank-bank. Uang tunai yang terkumpul ini sekarang menjadi ancaman bagi kesehatan keuangan dan mengancam kemampuan bank untuk beroperasi.
“Setiap hari, shekel masuk dan tidak keluar. Bank telah berubah dari mesin ekonomi menjadi gudang mata uang yang menyesakkan. Kami tidak dapat menukar jumlah yang sangat besar ini, yang telah menjadi tidak berguna,” kata seorang pejabat bank setempat yang menolak disebutkan namanya.
Kekurangan Simpanan… Kekurangan Transaksi
Kekurangan ini menegaskan realitas di pasar, karena pedagang dan pemilik bisnis tidak dapat menyimpan shekel yang mereka terima dalam bentuk tunai, sehingga menciptakan semacam stagnasi keuangan.
Mohammad Halayqa, seorang pedagang besar dari Provinsi Hebron, menggambarkan situasi tersebut sebagai “kerugian ganda,” karena ia terpaksa membeli dolar di pasar gelap dengan harga tinggi, lalu menjualnya kembali ke bank dengan harga lebih rendah untuk membeli shekel lagi. “Ini adalah absurditas ekonomi, yang menyebabkan harga lebih tinggi bagi konsumen, dan merusak kepercayaan pedagang terhadap bank.”
Krisis serupa juga dihadapi perusahaan transportasi, stasiun pengisian bahan bakar, supermarket, dan bahkan penukar uang, yang mulai menolak cek dalam jumlah besar dan meminta alternatif seperti dolar dan dinar, sehingga melumpuhkan pasar.
Arteri Ekonomi yang Terancam
Kelemahan mendasar terletak pada hubungan perbankan koresponden antara bank-bank Palestina dan bank-bank negara Zionis, yang memungkinkan transaksi komersial dan perbankan mencapai sekitar NIS 50 miliar setiap tahunnya. Hubungan ini sangat penting mengingat ketergantungan ekonomi Palestina yang hampir total pada ekonomi negara Zionis, dengan 85% ekspor Palestina masuk ke negara Zionis, dan 55% impor berasal dari sana.
Bashar Yassin, Direktur Jenderal Asosiasi Bank Palestina, mencatat bahwa pemutusan total hubungan ini sejak akhir tahun 2024 telah memberikan tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya pada bank-bank. “Kami menuntut solusi yang mendesak, jika tidak, sistem perbankan dapat lumpuh untuk waktu yang lama.”
Kerugian Langsung dan Biaya Tersembunyi
Dalam konteks ini, pakar ekonomi Mu’ayyad Afana mengatakan, “Bukan hanya biaya langsung yang membebani bank, tetapi juga biaya peluang yang hilang.” Ia menjelaskan bahwa krisis mencegah bank menggunakan likuiditas untuk pinjaman atau investasi, menimbulkan biaya penyimpanan dan asuransi yang tinggi, sekaligus mengikis kepercayaan antara bank dan warga negara, dan antara bank dan pedagang. Ini berarti penurunan peran sentral bank sebagai lembaga intermediasi keuangan.
Afana menambahkan, “Kita menghadapi struktur ekonomi disfungsional yang dipaksakan oleh Perjanjian Paris, yang menjadikan shekel sebagai mata uang utama tanpa memastikan mekanisme kedaulatan untuk mengendalikan peredarannya. Apa yang terjadi saat ini adalah runtuhnya kedaulatan moneter secara bertahap.”
Upaya Digital… Namun Lambat
Menanggapi krisis tersebut, Otoritas Moneter Palestina meluncurkan inisiatif untuk mempromosikan transaksi digital, memperluas titik penjualan elektronik, dan mengembangkan dompet elektronik, dalam upaya mengubah likuiditas dari tunai menjadi digital dan mengurangi jumlah uang yang beredar secara manual.
Namun, para pengamat memperingatkan bahwa inisiatif ini, meskipun diperlukan, tidak akan langsung efektif dalam masyarakat yang sangat bergantung pada uang tunai, terutama di daerah pedesaan, dan dengan infrastruktur digital yang lemah.
Pakar keuangan Iyad Al-Jadaa memperingatkan bahwa kelanjutan krisis ini tanpa solusi “dapat menyebabkan resesi moneter dan gangguan dalam hubungan antara warga negara dan sistem perbankan, yang dapat mendorong sebagian orang beralih ke ekonomi informal atau bahkan menimbun uang tunai di rumah, yang merupakan skenario berbahaya.”
Ia menunjukkan bahwa konsumen di ujung rantai adalah yang paling terpengaruh, karena krisis penimbunan shekel berdampak pada harga barang dan jasa, menyebabkan hilangnya stabilitas keuangan, penurunan daya beli, dan terkadang bahkan gangguan dalam pembayaran gaji.
Dilema Politik yang Luar Biasa
Meskipun krisis ini pada dasarnya bersifat finansial dan teknis, inti krisis ini bersifat politis. Penolakan bank-bank negara Zionis untuk menerima shekel bertepatan dengan penahanan pendapatan bea cukai Palestina oleh negara Zionis dan meningkatnya ketegangan politik, yang memperkuat kecurigaan bahwa tekanan politik digunakan untuk melemahkan komunitas keuangan.