
Analis: "Kota kemanusiaan" adalah "kamp konsentrasi Nazi" di mana penjajah akan mengendalikan kehidupan warga Palestina (Al Jazeera)
Selama dua tahun agresi negara Zionis terhadap Jalur Gaza, Otoritas Penjajah telah meluncurkan sejumlah proyek yang bertujuan untuk menundukkan warga Palestina, menghabisi Perjuangan Palestina, dan menghabisi sistem yang berkuasa di Jalur Gaza. Proyek “kota kemanusiaan” di Gaza bukanlah gagasan terbaru, tetapi merupakan gagasan yang paling berbahaya bagi eksistensi rakyat Palestina dan perjuangan Palestina itu sendiri, menurut apa yang disampaikan para ahli kepada Al Jazeera Net.
Mengutip laporan Ahmad Hafiz dan Diana Jarrar kepada Al Jazeera Net tanggal 14/7/2025 jam 21:00 (waktu Mekkah), bahwa rencana “Kota Kemanusiaan” didahului oleh beberapa usulan, seperti: membagi Jalur Gaza menjadi beberapa wilayah yang mudah dikontrol, melibatkan milisi untuk membentuk pemerintahan pengganti bagi Gerakan Perlawanan Islam (Ham4s), proyek pelabuhan terapung, membalikkan suku-suku agar melawan Ham4s, atau menggusur seluruh penduduk Jalur Gaza dan mengubah tanahnya menjadi “Riviera Timur”.
Rencana ini diungkapkan Menteri Pertahanan negara Zionis Yisrael Katz, yang menjelaskan bahwa rencana ini menyerukan pembentukan zona tertutup di Rafah antara poros Morag dan Philadelphia di Jalur Gaza selatan. Rencana tersebut awalnya bertujuan untuk memindahkan sekitar 600.000 warga Palestina ke sana, bersamaan dengan pendirian empat pusat distribusi bantuan yang dijalankan oleh organisasi internasional. Warga masyarakat akan menjalani pemeriksaan keamanan untuk memastikan mereka tidak berafiliasi dengan Ham4s, dan begitu mereka memasuki zona tersebut, mereka tidak akan diizinkan keluar.
Apa tujuan penjajah di balik rencana ini? Apa dampaknya terhadap perjuangan Palestina secara umum? Apa sikap regional dan internasional terhadap hal ini? Dan bagaimana kemungkinan tentara penjajah berhasil menerapkannya di lapangan? Semua pertanyaan ini dijawab oleh para analis dan pakar urusan negara Zionis dalam laporan ini.
Tujuan Berbahaya di balik Kota Kemanusiaan
Setelah pelantikan Presiden AS Donald Trump, ia mengungkapkan keinginannya untuk membangun “Gaza Riviera”, dengan dalih membangun kembali Jalur Gaza “untuk menjadi resor pantai internasional di bawah kendali AS.” Meskipun Presiden AS belum mengumumkan rincian atau sifat rencananya, pengungkapan rencana “Kota Kemanusiaan” dapat mengungkap banyak hal yang selama ini disembunyikan.
Pakar urusan negara Zionis Imad Abu Awad percaya bahwa membangun apa yang disebut “kota kemanusiaan” tidak akan membawa keberhasilan yang signifikan bagi negara Zionis, karena tujuannya adalah untuk menarik warga Palestina ke kota tersebut sebagai persiapan untuk pemindahan mereka selanjutnya dan mengendalikan nasib hidup mereka.
Abu Awad menjelaskan dalam sebuah wawancara dengan Al Jazeera Net bahwa “Keberhasilan negara Zionis dalam proyek ini akan sangat parsial. Militer negara Zionis sendiri mengakui bahwa menarik 10% penduduk Gaza ke kota itu sangat sulit, artinya sekitar 200.000 dari sekitar dua juta warga Palestina, dan ini tidak dianggap sebagai sebuah pencapaian.”
Peneliti urusan negara Zionis tersebut menambahkan bahwa proyek ini merupakan bagian dari upaya negara Zionis—dengan dukungan Amerika dan Barat—untuk menyelesaikan masalah Palestina melalui tekanan, pemindahan, dan peningkatan penderitaan rakyat Palestina. Kebijakan semacam itu akan dipandang sah secara internasional jika tidak disertai dengan genosida langsung yang saat ini dilakukan oleh militer penjajah.
Abu Awad menilai proyek tersebut akan membuka jalan bagi tekanan kemanusiaan berkelanjutan terhadap warga Palestina di Gaza, mengubah tekanan ini menjadi hal yang biasa, yang itu melayani impian negara Zionis untuk mengurangi jumlah warga Palestina di Jalur Gaza dan Tepi Barat.
Kota untuk Pengungsian atau Penjara Besar?
Gagasan menggusur penduduk Jalur Gaza merupakan konsep lama dan baru dalam kebijakan negara Zionis. Tidak ada pemerintah yang berhenti mempertimbangkan untuk mengusulkannya dan berupaya untuk melaksanakannya. Tekanan yang diberikan oleh Perdana Menteri negara Zionis Benjamin Netanyahu, buronan Mahkamah Pidana Internasional kepada negara-negara tetangga pada awal agresinya terhadap Gaza adalah contoh paling menonjol dari sentralitas gagasan pemindahan atau pengusiran di dalam strategi negara Zionis. Namun, rencananya tersebut saat itu gagal.
Ketika ide pengungsian secara langsung gagal, rencana “kota kemanusiaan” muncul, yang oleh analis politik Ibrahim Al-Madhoun digambarkan tidak lebih dari “kamp konsentrasi Nazi” di mana Otoritas Penjajah mengendalikan hidup rakyat Palestina.
Al-Madhoun menambahkan, dalam sebuah wawancara dengan Al Jazeera Net, bahwa “ini bukan kota kemanusiaan, melainkan pusat penahanan di mana penjajah mengontrol makanan, air, dan pergerakan warga, sebagai bagian dari rencana rekayasa yang bertujuan mempersiapkan mereka untuk dibunuh atau dipindahkan secara paksa ke negara lain.”
Analis politik tersebut menegaskan bahwa penjajah berupaya mengubah wilayah geografis di Rafah menjadi “pusat penahanan massal,” tempat perempuan dan anak-anak dipisahkan dan laki-laki muda dibunuh atau diasingkan. Ia menjelaskan bahwa rencana tersebut merupakan “kejahatan perang dan kejahatan terhadap hukum internasional.”
Juru bicara yang sama menekankan bahwa proyek ini merupakan pukulan telak bagi permasalahan Palestina, karena proyek ini menggantikan rencana pemindahan massal dan genosida lapangan dengan solusi dua negara, dengan mengambil keuntungan dari dukungan Amerika dan kebisuan atau keterlibatan negara-negara Arab dan internasional.
Namun Al-Madhoun juga menghubungkan keberhasilan rencana ini dengan tersedianya beberapa faktor, yang terpenting di antaranya kemauan Amerika dan tekad negara Zionis untuk melaksanakannya, berapapun biayanya, dan itu sebagai balasan ketiadaan tekanan internasional atau kerakyatan yang cukup untuk menghentikannya.
Kegagalan yang Jelas dan Biaya Tinggi
Proyeksi biaya rencana tersebut, yang diperkirakan antara $3 dan $6 miliar, telah memicu kemarahan publik di negara Zionis, menyusul meningkatnya biaya ekonomi akibat perang yang telah berlangsung hampir dua tahun. Militer juga memiliki keberatan. Kepala Staf Eyal Zamir mengkritik usulan tersebut, memperingatkan bahwa usulan tersebut mengalihkan militer dari dua tujuan utamanya: “mengalahkan Ham4s dan membebaskan para tawanan.”
Terkait keberatan tentara negara Zionis, Abu Awad menegaskan bahwa lembaga militer kurang yakin dengan keberhasilan rencana “kota kemanusiaan”, dengan mengacu pada kegagalan upaya sebelumnya seperti “Kereta Gideon” dan “Rencana Para Jenderal”, yang gagal meyakinkan warga Palestina untuk menerima gagasan pengungsian meskipun pemboman dan penghancuran terus berlanjut.
Ia menyatakan bahwa “bahkan jika 100, 200, atau bahkan 400.000 warga Palestina berhijrah, masalah ini tidak akan terselesaikan dan akan gagal, sebagaimana Rencana Allon untuk menggusur penduduk Gaza yang gagal pada tahun 1960-an.”
Abu Awad berpendapat bahwa alasan kedua bagi keraguan militer terletak pada ketakutan bahwa proyek ini akan menyebabkan kehadiran militer yang terus-menerus dan mahal di Gaza, atau membuka pintu bagi pemerintahan militer langsung, yang sejauh ini ditolak oleh lembaga militer.
Akan tetapi, Al-Madhoun membantah argumen ini, dengan menyatakan bahwa sikap diam militer negara Zionis sebagian besar bersifat taktis atau karena alasan logistik. Ia menunjukkan bahwa lembaga militer negara Zionis tidak independen dari kebijakan pemerintah sayap kanan yang dipimpin oleh Netanyahu, yang telah merestrukturisasi kepemimpinan militer dan menteri pertahanan untuk melayani kebijakan ini.
Peneliti dan akademisi Muhammad Ghazi al-Jamal mengkritik penunjukan “kota kemanusiaan” dalam rencana tersebut sejak awal, menganggapnya menyesatkan. Ia menegaskan bahwa proyek tersebut menyerupai “kamp konsentrasi,” yang memaksa warga sipil untuk mencari perlindungan di daerah yang sudah hancur dan berada di bawah kendali penjajah para proksi lokalnya.
Al-Jamal mengatakan kepada Al Jazeera Net bahwa peluang keberhasilan rencana kota kemanusiaan seperti yang dibayangkan negara Zionis sangatlah tipis, karena sensitivitas rakyat Palestina terhadap proyek penjajah, lemahnya dukungan internasional terhadap gagasan tersebut, keberatan Mesir, dan keberatan di dalam negara Zionis terhadap proyek tersebut.
Sejak diumumkannya rencana “Kota Kemanusiaan”, rencana tersebut telah dikecam keras oleh badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa, organisasi-organisasi hak asasi manusia, dan pejabat-pejabat internasional. Mereka semua telah memperingatkan tentang konsekuensi bencana dari rencana ini terhadap situasi kemanusiaan di Gaza.