
Matahari terbenam di atas Jalur Gaza selatan pada 2 Januari 2020 [File: Ibraheem Abu Mustafa/Reuters], foto diambil dari Al Jazeera
Pengusiran paksa sudah di depan mata dan kami tahu kali ini kami mungkin tidak akan pernah melihat rumah kami lagi.
Oleh: Sara Awad. Penulis Palestina asal Gaza.
Kepada mereka yang masih memiliki rasa peduli, ini mungkin surat terakhir yang saya tulis dari Kota Gaza.
Kami mengira negara Zionis akan segera mengeluarkan “perintah evakuasi” secara resmi. Kota tercinta saya, Gaza, berada di ambang penjajahan militer penuh oleh tentara Zionis. Rencana mereka adalah memaksa kami semua meninggalkan rumah dan pindah ke tenda-tenda di bagian selatan Jalur Gaza. Kami tidak tahu apa yang akan terjadi pada mereka yang melawan. Kami mungkin sedang menjalani hari-hari terakhir kami di Kota Gaza.
Sejak awal perang, kami telah mendengar bahwa negara Zionis ingin menjajah kota kami dan menjadikannya sebagai wilayah pemukiman bagi rakyatnya. Awalnya, kami tidak mempercayainya; kami pikir berita semacam ini adalah perang psikologis. Lagipula, kami pernah menerima “perintah evakuasi” sebelumnya dan orang-orang dapat pulang kembali, meskipun hanya ke reruntuhan rumah mereka.
Pada 13 Oktober, tak lama setelah genosida dimulai, tentara negara Zionis memerintahkan semua orang di Gaza utara, termasuk Kota Gaza, untuk pindah ke selatan. Perintah itu disertai dengan pemboman tanpa henti. Ratusan orang terkadang harus mengungsi setiap hari. Ratusan ribu orang melarikan diri ke selatan demi keselamatan mereka.
Kami tidak pergi. Ayah saya menolak meninggalkan rumah kami, jadi kami semua tetap tinggal. Kami tinggal di rumah kami selama berbulan-bulan dalam penderitaan dan ketakutan yang tak tertahankan. Kami menyaksikan kehancuran lingkungan kami dengan mata kepala sendiri.
Kemudian tentara Zionis memutus jalur utara dari selatan. Bantuan tidak dapat mencapai utara. Dari Januari hingga April 2024, saya dan keluarga saya menjalani hari-hari perang yang paling menyesakkan. Di mana kami kelaparan; kami menghabiskan hari-hari kami mencari apa pun untuk menghilangkan rasa lapar kami. Terkadang, kami terpaksa makan pakan ternak.
Pada bulan Januari tahun ini, ketika gencatan senjata mulai berlaku, orang-orang diizinkan kembali ke utara. Momen itu merupakan momen emosional yang mencerminkan betapa kami, warga Palestina, terikat dengan tanah air kami.
Kali ini, suasananya terasa berbeda. Rasanya ancaman akan penjajahan yang permanen, kehilangan permanen, begitu amat nyata.
“Dalam persiapan pemindahan warga sipil dari zona perang ke selatan … sejumlah besar tenda dan peralatan berteduh akan diizinkan masuk [Gaza],” tulis juru bicara militer negara Zionis Avichay Adraee di Facebook.
Warga di seluruh Gaza membaca berita ini dengan berat hati. Ada banyak pertanyaan dan sedikit jawaban: Kemana kami akan mengungsi? Kapan ini akan dimulai? Akankah ada yang turun tangan dan menghentikan bencana ini?
Orang-orang kewalahan – secara emosional, mental, fisik, finansial; mereka tak sanggup menanggung penderitaan lagi.
Sejak saya dan keluarga mendengar pengumuman ini, kami saling memandang dengan tatapan bingung dan ketakutan.
Ketika saya melihat gambar-gambar tenda dan terpal memasuki Kota Gaza di media sosial, hati saya hancur berkeping-keping. Membayangkan masa depan saya akan dijejalkan ke dalam tenda membuat saya takut. Mimpi saya besar; bagaimanakah saya bisa memasukkan mimpi besar itu ke dalam tenda yang kecil?
Saya memberitahu ayah saya bahwa saya tidak ingin tinggal di tenda. Air mata mengalir di pipi saya. Dia menatap saya dengan tatapan tak berdaya dan berkata, “Kita tidak punya pilihan lain, tenda ini akan menjadi kenyataan baru kita.”
Kami tidak ingin pergi, tetapi kami merasa tidak punya pilihan. Kami rasa kami tidak sanggup menanggung pemboman dan penembakan tanpa henti sekali lagi. Negara Zionis kemungkinan akan lebih brutal lagi ketika mereka menyerang kali ini. Kali ini tidak akan ada hukuman; tapi yang ada akan dihancurkan total.
Merasa hari penghabisan kota mereka akan segera datang, orang-orang menghabiskan yang mereka takutkan sebagai hari-hari terakhir mereka di sana bersama keluarga. menikmati makan sekali sehari bersama-sama untuk hari itu. Mereka berjalan-jalan di sekitar lingkungan mereka, berfoto di tempat-tempat yang berkaitan dengan kenangan masa kecil mereka, mengabadikan segala sesuatu yang mungkin terhapus.
Saya menulis kata-kata ini, duduk di ruang kerja bersama tempat banyak mahasiswa dan penulis berusaha melawan rasa takut akan masa depan dengan belajar dan bekerja. Mereka berpegang teguh pada rutinitas kerja mereka, berharap akan adanya kenormalan di tengah kekacauan yang mencekam.
Orang-orang di Gaza mencintai hidup, bahkan ketika hidup berarti bertahan hidup dengan kebutuhan minimum. Bahkan di saat-saat tergelap sekalipun, kami selalu menemukan cara untuk memiliki harapan, kegembiraan, dan kebahagiaan.
Saya ingin memiliki harapan, tetapi saya juga takut – bukan hanya akan bom, pengungsian paksa, tenda dan pengasingan. Saya takut dipisahkan dari dunia, dibungkam.
Saya merasa apa yang sedang dipersiapkan negara Zionis untuk kami di selatan adalah kamp konsentrasi di mana kami akan dipisahkan dari dunia, suara kami diredam, keberadaan kami dilenyapkan.
Saya tidak tahu berapa lama lagi kata-kata saya akan sampai ke dunia luar, jadi saya ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk menyampaikan permohonan.
Jangan lupakan saya, Sara Awad, seorang mahasiswi Palestina, yang impian terbesarnya adalah menyelesaikan gelar sarjana sastra Inggris dan menjadi jurnalis profesional.
Jangan lupakan rakyat Gaza dan 2 juta kisah cinta, patah hati, dan kegigihan mereka.
Jangan lupakan kotaku, Gaza – kota metropolitan kuno yang penuh sejarah dan budaya, penuh cinta.