
Foto Palinfo
“Pindah hari ini bukan hanya tentang menemukan sebidang tanah kosong, tetapi perjalanan yang dipenuhi penderitaan, ketakutan, dan teror… Ada yang lebih suka tidur di antara reruntuhan atau di jalanan. Tidak ada tempat tujuan.” Dengan kata-kata ini, seorang warga Kota Gaza merangkum penderitaan ribuan keluarga yang menghadapi perintah penjajah negara Zionis untuk mengungsi dari kota dan melarikan diri ke selatan, demikian seperti dilansir Pusat Informasi Palestina pada Kamis, 28 Agustus 2025, 14.52.
Perempuan yang berjuang bersama keluarganya untuk bertahan hidup ini menambahkan: “Toilet portabel harganya 1.500 shekel, dan tenda sederhana harganya 4.500-5.000 shekel. Ini berarti sebuah keluarga membutuhkan sekitar 12.500 shekel untuk dapat mengungsi. Bagaimana mungkin satu keluarga mampu membayar uang sebanyak itu dalam kondisi terkepung dan kelaparan?”
Wilayah utara Kota Gaza tengah menyaksikan gelombang baru pemindahan paksa, karena tentara penjajah negara Zionis mengintensifkan pemboman dan mengeluarkan peringatan evakuasi kepada warga Palestina sebagai bagian dari rencananya untuk menjajah kembali kota tersebut.
Puluhan keluarga meninggalkan rumah mereka di wilayah Jabalia al-Nazla, utara Kota Gaza, membawa barang-barang apa pun yang mereka bisa, menggunakan gerobak yang ditarik hewan atau berjalan kaki, menuju wilayah barat kota.
Falastin Halawa, seorang perempuan pengungsi dari Jabalia al-Balad, menceritakan tragedi yang dialaminya saat ia mengungsi: “bom berada di atas kepala kami… Saya tidak punya suami atau pemuda untuk membantu saya. Tentara menjatuhkan selebaran kepada kami dari drone yang memerintahkan kami untuk mengungsi ke selatan, tetapi kami mengungsi ke Gaza barat.”
Ia menambahkan: “Tentara juga menjatuhkan tabung gas air mata kepada kami, yang menyebabkan ketakutan dan kepanikan di antara anak-anak, sebagian orang yang menderita sesak dada menjadi semakin buruk keadaannya.” Ia menjelaskan bahwa ia tinggal di tenda yang kekurangan kebutuhan hidup paling dasar, tanpa makanan atau air di dekatnya, yang memaksa mereka untuk mencarinya dalam kondisi yang sangat sulit.
Warga Palestina ini memohon kepada komunitas internasional untuk menyediakan makanan dan minuman serta menghentikan perang yang terus berlangsung di Jalur Gaza sejak 23 bulan.
Pada 8 Agustus, pemerintah negara Zionis menyetujui rencana yang diusulkan oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk menjajah kembali seluruh Jalur Gaza secara bertahap, dimulai dengan Kota Gaza. Rencana tersebut menyerukan pengusiran sekitar satu juta orang dari Kota Gaza ke selatan, diikuti dengan pengepungan dan penyerbuan ke wilayah permukiman. Tahap kedua akan mencakup penjajahan kamp-kamp pengungsi di Jalur Gaza bagian tengah.
Organisasi-organisasi PBB memperingatkan, dalam pernyataan bersama pada 22 Agustus, bahwa serangan terhadap Kota Gaza akan memperburuk penderitaan warga Palestina yang kelaparan.
Peta Menyesatkan dan Pengusiran Paksa
Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan pada hari Kamis, Kantor Media Pemerintah di Gaza menuduh tentara negara Zionis “mempromosikan kebohongan dan peta menyesatkan” yang bertujuan untuk menggusur paksa penduduk Kota Gaza dan wilayah utara. Pernyataan tersebut memperingatkan bahwa langkah ini merupakan “kejahatan perang” dan memperburuk tragedi kemanusiaan yang telah berlangsung selama hampir 700 hari.
Pernyataan tersebut menambahkan bahwa klaim penjajah tentang keberadaan “lahan kosong yang luas” di Jalur Gaza bagian selatan dan tengah adalah “klaim palsu yang bertentangan dengan kenyataan di lapangan,” karena wilayah tersebut telah menampung lebih dari satu setengah juta orang pengungsi yang tinggal di tenda-tenda darurat yang bahkan tidak memiliki kebutuhan hidup paling dasar.
Ia menjelaskan bahwa wilayah yang dirujuk oleh penjajah, baik di Mawasi maupun kamp-kamp pusat, merupakan lahan terbatas yang tidak memadai untuk menampung populasi besar ini. Sebagian besar berupa lahan pertanian atau lahan pribadi, dan beberapa digunakan sebagai zona penyangga atau terancam pengeboman. Ia menekankan bahwa penjajah berupaya menciptakan krisis kemanusiaan baru.
Media pemerintah menekankan bahwa “pemindahan paksa” yang sedang berlangsung melanggar Pasal (49) Konvensi Jenewa Keempat, yang melarang pemindahan penduduk secara paksa. Mereka menganggap apa yang terjadi ini sebagai kebijakan pembersihan etnis yang jelas-jelas bertujuan untuk mengosongkan Jalur Gaza utara dan Kota Gaza dari penduduk aslinya.
Sebelumnya, media pemerintah melaporkan bahwa sejak penjajah mengumumkan akan mengizinkan masuknya tenda dan perlengkapan tempat tinggal, hanya sekitar 10.000 tenda yang telah masuk ke Gaza, mewakili 4% dari total kebutuhan 250.000 tenda dan karavan. Angka ini mencerminkan tingkat manipulasi dan mengulur waktu dalam menanggapi kebutuhan kemanusiaan yang mendesak.
Krisis Kemanusiaan yang Tak Terbayangkan
أ
Organisasi-organisasi kemanusiaan seperti Dokter Lintas Batas dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah berulang kali menekankan bahwa warga Jalur Gaza telah mengalami pengungsian berulang kali dan tidak memiliki kapasitas fisik maupun psikologis untuk menanggung pengungsian lebih lanjut, terutama mengingat kurangnya air, makanan, dan layanan dasar. Nizar Ayyash, Wali Kota Deir al-Balah, menekankan hal ini, dengan menyatakan bahwa “tidak ada satupun lokasi di wilayah tengah yang mampu menampung tenda-tenda baru,” yang menandakan tragedi kemanusiaan yang sedang berlangsung
Dalam konteks yang sama, Asisten Sekretaris Jenderal PBB memperingatkan Dewan Keamanan bahwa “ekspansi militer negara Zionis merupakan ketakutan terburuk bagi warga Gaza, yang sedang berjuang untuk bertahan hidup,” seraya menekankan bahwa gelombang pengungsian baru akan menjadi “bencana besar.”
Adnan Abu Hasna, penasihat media untuk Badan Bantuan dan Pekerjaan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA), juga menekankan bahwa setiap invasi negara Zionis ke Kota Gaza akan menyebabkan “tsunami kemanusiaan yang dahsyat,” seraya menekankan bahwa sebagian besar penduduk kota tersebut tidak ingin dievakuasi atau dipindahkan secara paksa.
Kamis lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengumumkan bahwa jumlah warga Palestina yang mengungsi di Gaza akibat serangan pendudukan telah mencapai lebih dari 796.000 orang sejak pertengahan Maret, mencatat bahwa lebih dari 17.000 pengungsian tercatat antara 12 dan 20 Agustus.
Dinyatakan bahwa 95 persen pengungsian paksa terjadi di Kota Gaza, dengan orang-orang melarikan diri dari timur kota ke selatan dan barat untuk menghindari pemboman udara dan artileri negara Zionis.
Pada 20 Juli, Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) menyatakan bahwa 88 persen dari wilayah Jalur Gaza yang luasnya sekitar 360 kilometer persegi, rumah bagi sekitar 2,3 juta warga Palestina, berada di bawah perintah evakuasi negara Zionis yang melibatkan pengungsian paksa warga Palestina.
Zona Militer
Di sisi lain, surat kabar berbahasa Ibrani, Haaretz, mengungkapkan bahwa pemeriksaan oleh para ahli peta atas pernyataan juru bicara militer negara Zionis, Avichay Adraee, mengungkapkan bahwa enam dari 19 wilayah yang ditetapkan oleh militer untuk menampung pengungsi terletak seluruhnya atau sebagian di dalam wilayah yang digambarkan oleh militer sendiri sebagai zona merah “terlarang bagi warga sipil” karena aktivitas militer.
Surat kabar tersebut menjelaskan bahwa total wilayah yang tersedia untuk pengungsi tidak melebihi tujuh kilometer persegi, atau sekitar tujuh meter persegi per orang, sebuah angka “katastropik” dibandingkan dengan satu juta orang yang diperkirakan akan meninggalkan Gaza dan sekitarnya, menurut perkiraan PBB.
Citra satelit juga menunjukkan bahwa beberapa lokasi yang dipromosikan oleh penjajah sudah penuh sesak dengan tenda-tenda pengungsi, sementara yang lain hanyalah bukit pasir atau lahan yang terendam banjir, di samping wilayah-wilayah yang digunakan sebagai zona penyangga atau rentan terhadap pemboman.
Sejak 7 Oktober 2023, negara Zionis, dengan dukungan penuh Amerika, telah melakukan genosida di Gaza, termasuk pembunuhan, kelaparan, penghancuran, dan pemindahan paksa, mengabaikan semua seruan internasional dan perintah dari Mahkamah Internasional untuk menghentikannya. Genosida negara Zionis telah mengakibatkan 62.966 orang syahid, 159.266 orang luka-luka, lebih dari 9.000 orang dinyatakan hilang, ratusan ribu orang mengungsi, dan kelaparan yang telah merenggut nyawa 317 orang, termasuk 121 anak-anak (Palinfo/Kho).