
Foto Pusat Informasi Palestina
Di kamp Deir al-Balah di Jalur Gaza bagian tengah, sebuah ‘Tekiyeh’ yang selama ini membagi-bagikan makanan harian yang sederhana— terdiri dari kacang lentil, nasi, atau makaroni—kepada banyak keluarga yang mengalami kelaparan dan pengeboman akhirnya harus ditutup dalam beberapa hari terakhir.
Mengutip Pusat Informasi Palestina pada Jumat 9 Mei 2025 jam 16:25 waktu setempat, dengan penutupan ini, ratusan penghuni kamp telah kehilangan satu-satunya sumber makanan sehari-hari mereka. Ini merupakan pemandangan yang tidak terpisahkan dari kenyataan di seluruh Jalur Gaza, dan menjadi cerminan langsung dari keruntuhan bertahap seluruh sistem kemanusiaan, sebagai akibat dari blokade dan perang.
Krisis yang Meluas
‘Tekiyeh’, yang beroperasi selama beberapa waktu dengan dukungan dari World Kitchen, dan yang makanannya didistribusikan oleh relawan dari dalam kamp, telah ditutup karena menipisnya dana dan ketidakmampuan untuk memastikan keberlanjutan.
Dengan penutupan tersebut, Deir al-Balah telah bergabung dengan daftar panjang daerah di Gaza yang telah kehilangan inisiatif membagikan makanan rakyat.
Abdul Qader Abu al-Ata: “Saya tidak bisa mampu menemui anak-anak dengan tangan tidak membawa apa-apa.”
Abdul Qader Abu Al-Ata, salah satu relawan yang mengawasi distribusi makanan, berkata, “Makanannya tidak banyak apalagi mewah, tetapi dapat menutupi rasa lapar kami: kacang lentil, nasi, makaroni… dan orang-orang menghargainya karena makanan tersebut diberikan tanpa merendahkan mereka. Di saat bantuan ini terhenti, saya mulai menghindari jalan-jalan untuk menghindari menghadapi anak-anak yang biasa datang setiap hari.”
Suara-suara dari Kamp: Penderitaan dalam Diam
Abu Mujahid, seorang kepala keluarga dari kamp, menggambarkan situasi tersebut dengan berkata, “Saya tidak ingin melebih-lebihkan. Makanannya sangat sederhana, tetapi membantu menghilangkan rasa lapar kami.”
Huda, seorang mahasiswa, menambahkan, “Ibu saya akan pergi mengambil makanan yang sudah dibagi-bagi. Hari ini, setelah mereka tutup, dia tidak bisa lagi keluar rumah… Kelaparan bukan hanya rasa sakit; kelaparan juga adalah penghinaan.”
Salma, seorang ibu dari lima anak: “Makanannya tidak banyak, tetapi itu melindungi kami dari penghinaan… Sekarang kami mencoba memasak apa saja, bahkan jika masih ada roti kering dengan air.”
Ratusan ribu warga bergantung pada badan amal yang tersebar selama perang untuk menyediakan satu kali makan sehari, karena tepung dan barang-barang lainnya mulai menghilang di pasaran.
Sejak 2 Maret, Israel telah menutup penyeberangan Gaza dan sepenuhnya mencegah masuknya barang dan bantuan, yang menyebabkan kelaparan yang belum pernah terjadi sebelumnya di Jalur Gaza.
Peringatan PBB: Situasinya Sudah Melampaui Bencana
Perserikatan Bangsa-Bangsa, melalui UNRWA, baru-baru ini memperingatkan bahwa situasi di Gaza telah melewati semua batas merah.
Adnan Abu Hasna, penasihat media badan PBB tersebut, mengatakan bahwa Jalur Gaza tengah menghadapi “bencana kemanusiaan,” dengan menekankan: “Tidak ada tepung, tidak ada air, dan bahkan tidak ada vaksin untuk anak-anak, dan orang-orang dibiarkan menghadapi nasib mereka tanpa perlindungan apa pun.”
“World Kitchen”: Kami Terpaksa Berhenti
Yayasan “World Kitchen” telah mengumumkan penangguhan penuh operasinya di Gaza karena menipisnya persediaan dan larangan masuknya bantuan, dengan menekankan bahwa mereka tidak dapat melanjutkan kegiatan memasak atau distribusi selama persediaan penting tidak diizinkan masuk.
Apakah ada yang mendengarkan?
Penutupan ‘Tekiyeh’ Deir al-Balah ini, meskipun penyajian yang diberikannya amat sederhana, menunjukkan kerapuhan realitas keseharian penduduk Gaza. Di saat krisis meningkat, kacang lentil telah menjadi makanan pokok yang penting, dan ketiadaan kacang lentil merupakan bukti betapa dalamnya keruntuhan tersebut. Apa yang terjadi di ‘Tekiyeh’ merupakan cerminan dari krisis yang lebih besar, yang membutuhkan intervensi segera untuk memastikan kebutuhan minimum supaya bisa bertahan hidup (Palinfo/Kho).
Sumber: